Oleh. Nining Ummu Hanif
Muslimahtimes.com–Indonesia saat ini sedang diguyur bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, hingga cuaca ekstrem yang terjadi di berbagai daerah. Belum lama berselang bencana tanah longsor terjadi di Desa Cibeunying, Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah terjadi tanggal 13 November 2025 yang disebabkan oleh tingginya curah hujan .Sebanyak 21 orang ditemukan meninggal dan dua hilang tak ditemukan. Tanah longsor juga terjadi di desa Pandan Arum, kabupaten Banjarngara- Jawa Tengah dengan 3 korban meninggal, 25 orang masih dalam pencarian dan 1,000 orang terpaksa mengungsi.
Angin puting beliung, banjir, dan abrasi pantai dilaporkan terjadi di Kabupaten Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol, provinsi Sulawesi Tengah. Banjir juga terjadi di Agam, Sumatera Barat dan beberapa wilayah di Indonesia.
Berbagai bencana alam yang terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan tentu meninggalkan jejak kerusakan, kehilangan dan nestapa yang mendalam. Korban terdampak bencana kehilangan anggota keluarganya, tempat tinggal, harta, hewan ternak maupun rusaknya tanah pertanian mereka. Bahkan banyak korban yang belum terevakuasi hingga saat ini.
Sementara itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kesulitan saat melakukan evakuasi korban bencana alam karena curah hujan sangat tinggi, banjir dan longsor yang membahayakan tim evakuasi, akses jalan yang sulit, cuaca yang ekstrem dan juga keterbatasan tim.
Indonesia memang termasuk wilayah potensial bencana, terutama banjir. Apalagi memasuki musim penghujan maka intensitas hujan yang tinggi, durasi yang lama, dan frekuensi yang sering berpeluang besar menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor. Faktanya bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup. Pengalih fungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan. Hilangnya daerah resapan air ini akan memperbesar volume air bergerak dan semakin memperbesar kerentanan terjadinya banjir. Selain itu adanya deforestasi yang meningkat terjadi di hutan- hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut data Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, kehancuran hutan Indonesia kira-kira seluas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.
Masalahnya, bencana banjir dan tanah longsor bukanlah hal yang baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti terjadi. Berbagai risiko yang ditimbulkan baik secara ekonomi dan sosial sudah tidak terhitung lagi. Seharusnya bencana banjir dan longsor dapat dicegah dengan mitigasi cepat dan tepat. Namun negara selalu gagap ketika terjadi bencana. Dan menjadikan keterbatasan dana sebagai kambing hitamnya.
Pembangunan ala kapitalis lah yang menyebabkan berbagai bencana alam terjadi. Pemerintah memberikan kebebasan pada Oligarki untuk merubah lahan resapan air menjadi kawasan komersial. Yang akan menghasilkan “cuan” demi pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan akibat buruk yang akan menimpa masyarakat.
Dalam paradigma Islam, memandang bencana alam dari dua dimensi yaitu ruhiyah dan siyasiyah. Dari dimensi ruhiyah , Islam memandang bahwa bencana alam adalah tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana firman Allah Swt :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).
Nabi Muhammad Saw juga melarang tindakan melakukan perusakan lingkungan, beliau bersabda :
“Janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi, karena kerusakan itu lebih buruk daripada pembunuhan”(HR. Ibnu Majah)
Dalam sistem Islam juga ditanamkan edukasi sejak dini tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan memahamkan dalil- dalil dalam Al Qur’an dan As Sunnah bahwa terjadinya bencana alam akibat perbuatan manusia yang akibatnya akan membahayakan kehidupan manusia itu sendiri.
Sedangkan dari dimensi siyasiyah, bencana alam adalah akibat dari kesalahan tata kelola lingkungan hidup dan ketepatan serta kecepatan pemerintah dalam mitigasi bencana. Oleh karena itu negara dalam sistem Islam fokus pada perubahan struktur untuk mengatasi bencana seperti perencanaan tata ruang yang baik untuk mencegah bencana banjir dan longsor, pembangunan infra struktur yang anti bencana dan pengembangan sistem peringatan dini dan efektif untuk evakuasi.
Saat bencana alam terjadi maka negara akan fokus menangani dengan langsung dan cepat untuk mengurangi dampak bencana. Negara bertanggung jawab penuh atas keselamatan korban dengan melakukan evakuasi korban ke tempat yang aman, memberikan bantuan darurat berupa obat-obatan dan seluruh keperluan korban. Negara juga bertangung jawab penuh untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak agar masyarakat dapat beraktifitas kembali.
Pemerintah dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Oleh karena itu, saat sistem Islam ditegakkan tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Saatnya umat sadar untuk kembali kepada sistem Islam yang rahmatan lil alamin.
Wallahu’alam bishowab
