Oleh. Eri
(Pemerhati Masyarakat)
MuslimahTimes.com–Wabah Covid-19 belum ada tanda-tanda akan berakhir. Jika kita melihat saat ini terus bermunculan virus Covid-19 dengan varian baru yang mudah menyebar, bahkan lebih ganas dan sulit diatasi. Ancaman gelombang ketiga ada di depan mata.
Varian Alfa sampai Delta telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menularkan virus. Lalu, muncul varian baru bernama Omicron yang menimbulkan risiko infeksi ulang yang lebih tinggi. Selain itu, kecepatan penularan mencapai lebih dari 500 persen atau 5 kali lipat dibandingkan dengan virus corona SARS-CoV-2 aslinya yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina 2019 lalu.
Berdasarkan potensi penularan yang tinggi, tim peneliti independen Technical Advisory Group on SARS-COV-2 Virus Evolution (TAG-VE) telah mengklarifikasi dan memasukkan varian baru ini ke dalam kategori Variant of Concern (VOC). VOC merupakan kategori tertinggi bagi varian virus Covid-19 terkait dengan penularan, gejala penyakit, risiko menginfeksi ulang, dan kemungkinan memengaruhi kinerja vaksin. (bbcindonesia.com 29/11/21)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta agar negara-negara meningkatkan upaya pengawasan dan pengurutan (sequencing). Varian Omicron dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada Rabu, 24 November 2021. Varian tersebut juga telah teridentifikasi di beberapa negara seperti Botswana, Belgia, Hong Kong di Cina, dan Israel.
Adanya temuan varian Omicron di sejumlah negara Eropa telah memicu kekhawatiran akan terjadinya gelombang Covid-19 selanjutnya. Seperti di Inggris, Jerman dan Italia telah mendeteksi varian baru Covid-19, varian Omicron. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengumumkan langkah-langkah pencegahan untuk mengantisipasi ledakan covid-19 (tempo.co 28/11/21). Upaya yang dilakukan mulai dari tes PCR, karantina selama 10 hari, meningkatkan protokol kesehatan (Prokes) ketat, membatasi aktivitas di luar rumah dan larangan masuk wisatawan asing.
Tampaknya langkah pencegahan yang diterapkan membuat para investor khawatir melihat reaksi sejumlah negara kembali memberlakukan lockdown. Hal ini berdampak pada penurunan harga indeks saham yang sempat terjadi di bursa Asia dan Amerika. Selain itu, penyebaran varian Omicron menambah faktor ketidakpastian terhadap ekonomi global. Serta menambah dalam krisis perekonomian yang sebelumnya mengakibatkan kerugian mencapai 12 triliun dollar AS atau sekitar Rp168.000 triliun (kurs Rp14.000) berdasarkan laporan IMF.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi Covid-19. Mulai dari karantina wilayah/lockdown, 3T (test, trace, treatment), sampai vaksinasi dilaksanakan secara maksimal. Hingga memberlakukan konsep herd immunity dengan prokes ketat, namun secara fakta belum mampu mengatasi pandemi secara tuntas.
Kegagalan konsep sekularisme mengatasi pandemi Covid-19 mudah terindera. Karakter buruk peradaban kapitalisme tercermin dari konsep tambal sulam yang berujung kegagalan. Seringkali kebijakan pemerintah disandarkan pada untung rugi secara ekonomi, bukan penyelamatan nyawa manusia.
Kebijakan satu dengan yang lain saling bertentangan. Seperti program vaksinasi hanyalah efektif untuk pengurangan penularan, tetapi tidak untuk penghentian penularan atau memberantas tuntas. Akibatnya banyak bermunculan varian baru yang jauh lebih berbahaya. Selanjutnya, tidak diterapkan lockdown secara total dengan alasan menyelamatkan perekonomian. Justru, membiarkan tercampurnya orang sakit dan yang sehat aka berdampak pada penyebaran virus Covid-19 semakin luas.
Hasilnya, kasus Covid-19 di seluruh dunia terus bertambah. Sekitar 264 juta orang terinfeksi dari total kasus Covid-19 di seluruh dunia. Kasus kematian telah mencapai 5,22 juta (news.google.com 2/12/21). Sejauh ini langkah pemberantasan (eradikasi) pandemi terbukti gagal.
Sangat disayangkan, harapan manusia terbebas segera dari pandemi Covid-19 hanya sekadar angan-angan. Harapan akan terwujud ketika aturan hidup yang berlaku saat ini adalah aturan shahih yaitu syariat Islam, serta peran penting negara hadir sebagai pelaksana syariat Islam. Sebab, Islam memiliki aturan yang komprehensif mampu mengakhiri persoalan manusia akibat dari penerapan sistem sekularisme.
Penanganan pandemi Covid-19 dengan sistem pemerintahan Islam akan mementingkan keselamatan masyarakat. Namun, tidak mengesampingkan masalah sektor ekonomi. Negara bertanggung jawab untuk menerapkan langkah-langkah praktis menuntaskan pandemi dari hulu ke hilir.
Sektor hulu, pemerintah dengan tegas melakukan pembatasan aktivitas masyarakat secara total (lockdown). Perekonomian tidak menjadi pertimbangan pemerintah untuk melonggarkan kebijakan. Sebab, kebutuhan hidup masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Ketegasan yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk keseriusan dalam penanggulangan pandemi.
Penanggulangan wabah di masa Khalifah Umar bin Khattab mampu menghentikan pandemi. Wabah tha’un yang sejatinya memiliki risiko tinggi dengan tingkat penyebaran dan kematian cepat, mampu diatasi dengan cara lockdown. Salah satu sahabat, Abdurrahman bin ‘Auf meyakinkan Umar untuk tidak melanjutkan perjalanan dengan mengutip hadis Nabi.
– إذا سَمِعْتُمْ بالطَّاعُونِ بأَرْضٍ فلا تَدْخُلُوها، وإذا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بها فلا تَخْرُجُوا مِنْها
“Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wabah tha’un hilang setelah Amr bin Ash menjabat sebagai gubernur. Dia menganalisa penyebab munculnya wabah dan mengisolasi penduduk, memisahkan orang sakit dan yang sehat. Setelah melakukan upaya tersebut, wabah perlahan-lahan menghilang.
Sedangkan sektor hilir, yaitu sistem kesehatan Islam menjadi garda terdepan masyarakat dalam memenuhi pelayanan kesehatan. Pelayanan yang bersifat gratis, mudah dan tersedia nakes (tenaga medis) terbaik serta dilengkapi fasilitas dan sarana lengkap. Khilafah memberikan dukungan untuk melakukan terobosan-terobosan pengetahuan dan mengembangkan obat tanpa dicampuri benda-benda haram. Oleh sebab itu, vaksinasi bukan hal baru dalam pengobatan Islam. Pada masa Kekhilafahan Utsmani, vaksin telah dilakukan untuk mencegah penyakit cacar, penyakit mematikan yang disebabkan virus.
Vaksinasi bukan satu-satunya pencegahan yang dilakukan negara. Sangat penting meningkatkan tes pada individu-individu tanpa gejala dan memisahkan orang-orang sakit dengan isolasi mandiri. Langkah tersebut mencegah mereka melakukan aktivitas di tempat umum serta mengurangi penyebaran Covid-19.
Tampak jelas, Islam dalam menyelesaikan pandemi berbeda jauh dengan kapitalisme. Tujuan dari kebijakan yang diterapkan demi kemaslahatan masyarakat. Maka dari itu, agar dunia terbebas dari Covid-19, kaum muslim wajib mengganti sistem kapitalisme yang merusak dengan sistem pemerintahan yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah. Di bawah naungan Khilafah, insyaallah pandemi segera berakhir.
Waallahu a’lam bis shawwab.