Oleh. Tari Ummu Hamzah
Muslimahtimes.com — Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag) menuai polemik horizontal. Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menanggapi surat edaran tersebut dengan meminta agar Menag mengkaji ulang tentang aturan pengeras suara azan hanya 100db (desible). Karena ada beberapa daerah di Indonesia yang tidak mungkin menggunakan pengeras suara hanya dengan 100db. (Republika.com)
Contohnya seperti di Sumatra atau di pelosok-pelosok daerah. Kondisi wilayah itu, jarak rumah satu dengan yang lain saling berjauhan. Sehingga harus mengeraskan suara azan agar masyarakat bisa mendengarkan dengan jelas suara azan. Dalam wawancaranya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/02/22), Yandri Susanto juga menambahkan bahwa aturan ini tidak boleh digeneralisiasi di seluruh wilayah Indonesia. Peraturan ini menurutnya akan menimbulkan kemaraham masyarakat. Sebab mengapa pemerintah mulai mempermasalahkan suara azan. Dia juga mempertanyakan adakah di beberapa tempat atau berapa titik yang selama ini mempermasalahkan suara azan itu? Apakah ada protes keras dari masyarakat atau ada yang menjadi persoalan serius di masyarakat?
Sungguh miris! Di negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim, harus dipermasalahkan soal azan. Sesuatu yang sangat penting untuk menandakan masuknya waktu salat. Padahal sepanjang sejarah peradaban Islam tidak pernah dipermasalahkan soal suara azan.
Sejarah Kumandang Azan
Azan pertama kali dikumandangkan di Madinah pada tahun pertama Hijriah. Kala itu Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat untuk menentukan bagaimana memberi tahu umat Islam akan datangnya waktu salat agar mereka segera ke masjid untuk melaksanakan salat secara berjamaah.
Beberapa usulan sahabat untuk memberitahu waktu salat, seperti meniup terompet dan menyalakan api seperti orang Yahudi, membunyikannya lonceng seperti orang Nasrani, mengibarkan bendera, ditolak oleh Rasulullah. Sebab selain aktivitas di atas ada yang meniru kebiasaan orang kafir, Rasullullah ingin ada kalimat tauhid dalam aktivitas menyeru orang untuk salat.
Pada suatu kesempatan, Rasulullah didatangi oleh sahabat yang bernama Abdullah ibn Zaid, untuk menyampaikan mimpi bahwa dia telah bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kalimat untuk menyeru umat melaksanakannya salat. Kemudian Rasulullah pun sangat terkesan perihal mimpi tersebut. Rasulullah memanggil Bilal dan mengajarkan kalimat yang bersumber dari mimpi Abdullah ibn Zaid. Sejak saat itulah Bilal menjadi muazin pertama di masa Rasulullah. Beliau bersuara lantang agar kaum muslimin bisa mendengar dan bersegera menunaikan ibadah salat.
Aktivitas azan ini kemudian diikuti oleh kaum muslimin berabad lamanya. Bahkan di masa kekhalifahan kaum nonmuslim tidak pernah mempermasalahkan suara azan yang menggema dari menara-menara bangunan.
Muazin Harus memiliki pengetahuan astronomi. Jika saat ini kita bisa mengetahui waktu salat hanya dengan melihat aplikasi jadwal salat di smartphone. Muazin masa kini mampu mengetahui kapan waktu salat bergeser beberapa menit saja. Tapi pada masa kekhalifahan, muazin harus tahu sendiri kapan waktu salat. Sebab muazin yang bertindak sebagai penyeru suara, harus memiliki pengetahuan astronomi. Mengapa demikian? Karena saat-saat salat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muazin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi.
Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muazin harus seorang astronom! Untuk itulah, di masa lalu, semua muazin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal salat, puasa dan arah kiblat. Di masa-masa tersebut banyak ulama yang didukung oleh pemerintahan Islam untuk mencurahkan perhatiannya demi memudahkan aktivitas astronomi. Sehingga ditentukanlah dasar-dasar ilmu falak yang digunakan untuk menentukan waktu dan navigasi saat jihad fi sabilillah.
Alhasil, para muazin juga sebagai tenaga ahli dalam aktivitas jihad sebagai navigator. Masya Allah.
Muazin dalam daulah Islam bukanlah sembarang orang. Dia memiliki kapasitas dan kemampuan yang dapat diandalkan. Tidak perlu diatur-atur seberapa besar suara azan. Sebab para muazin paham betul tentang aktivitas azan secara menyeluruh.
Seperti itulah kondisi kaum muslimin di bawah pemerintahan Islam. Mereka memiliki jaminan dan kepastian dalam aktivitas salat, serta peran negara yang memberikan perhatian terhadap aktivitas ibadah dan menuntut ilmu. Sehingga ilmu pengetahuan perkembangan tidak hanya memudahkan urusan duniawi saja, tetapi juga untuk urusan ibadah dan jihad. Sudah saatnya umat Islam memahami jika saat ini kita dipimpin oleh aturan kufur yang selalu memojokan dan mendiskriminasi Islam. Mencari-cari kesalahan dari aktivitas ibadah kaum muslim. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang memimpin berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunah agar kaum muslimin memiliki jaminan dalam segala aspek.