Oleh. Hanifa Ulfa Safarini, S.Pd.
Muslimahtimes.com–Belakangan marak sekali pemberitaan mengenai perundungan di lingkungan sekolah yang notabenenya adalah tempat menimba ilmu dan membina akhlak. Seperti yang terjadi pada salah seorang siswa SD Fatir Arya Adinata (12) yang diamputasi setelah jadi korban bully di sekolah akhirnya meninggal dunia pada Kamis, 7/12/2023 (TRIBUN-MEDAN.COM, 8/12/23)
Sungguh sangat menyayat hati membaca berita perundungan anak SD ini dimana secara usia mereka masih tergolong masih di bawah umur, namun sudah berani melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya. Berawal dari bullying secara verbal lalu meningkat menjadi bullying secara fisik karena tidak adanya tindak lanjut secara tegas dari pihak keluarga maupun sekolah terhadap si anak yang berbuat bullying tersebut.
Kurangnya tindakan preventif maupun hukuman jera untuk pelaku bullying nyatanya bisa sampai menghilangkan nyawa seseorang. Ada apa dengan generasi kita? Mengapa mereka bisa menjadi pembully seperti ini?
Sesungguhnya berbagai kasus bullying yang terjadi di kalangan pelajar kita tidaklah muncul begitu saja. Ada faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu salah satunya adalah karena sistem kehidupan kita saat ini yang sekuler. Dalam sistem sekuler, kurikulum yang dibangun tidak menjadikan akidah Islam sebagai dasar pembentukan kepribadian anak. Akibatnya, lahirlah generasi yang jauh dari ajaran Islam yang sangat menjunjung akhlakul karimah atau tingkah laku baik yang disusun dalam suatu norma atau aturan. Norma inilah yang mengatur hubungan sesama manusia, atau hamba dengan Allah Swt.
Sekularisme ini telah memengaruhi setidaknya tiga ruang hidup tempat generasi tumbuh. Pertama dalam keluarga. Sebagai tempat pendidikan pertama bagi anak-anak, banyak orang tua yang lalai menanamkan keimanan dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Akibatnya, anak tidak takut untuk berbuat dosa karena tidak adanya rasa takut kepada Allah Swt.
Kedua, lingkungan. Lingkungan saat ini juga terbentuk dari nilai sekuler. Yang baik pun bisa menjadi buruk lantaran terpengaruh lingkungan sekitar yang rusak. Budaya amar makruf nahi mungkar hampir tidak terlihat dalam masyarakat sekuler. Individualis, egois, dan apatis, beginilah masyarakat yang terbentuk dalam sistem sekuler kapitalistik.
Ketiga, nihilnya peran negara menjaga generasi dari kerusakan. Ini dapat kita lihat dari tiga indikator. Indikator pertama, mandulnya perangkat hukum. Sudah banyak produk hukum yang dibuat dalam rangka mencegah dan menangani kasus bullying, seperti UU Perlindungan Anak. Namun, tetap tidak mempan mencegah bullying yang terus berulang.
Indikator kedua, kurikulum yang selama ini diterapkan telah gagal mewujudkan generasi Islami yang berakhlakul karimah. Kurikulum hari ini sarat dengan nilai-nilai sekuler. Sekolah hanya dianggap sebagai tempat meraih prestasi akademik, tanpa memperdulikan spiritualnya. Mereka dibuat berlomba-lomba hanya mengejar nilai-nilai yang bersifat duniawi. Lulus sekolah tujuannya hanya untuk mendapat kerja yang dianggap enak tanpa memikirkan halal haram.
Indikator ketiga, kegagalan negara dalam membendung segala tontonan dan musik yang merusak generasi. Betapa banyak hiburan yang isinya tidak menambah keimanan malah cenderung memberikan contoh yang tidak baik, namun bertebaran di televisi maupun media sosial. Segala jenis hiburan kini sangat mudah diakses oleh siapa pun termasuk anak-anak. Pengawasan negara, orang tua, dan penggunaan gawai yang kebablasan akhirnya membuat anak-anak kita saat ini mendapat informasi yang tidak seharusnya. Apalagi di kondisi mereka yang belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ketiga indikator tersebut bisa dibenahi apabila negara melakukan perannya dengan baik. Sebagaimana dahulu saat Islam diterapkan, tatanan kehidupan masyarakat benar-benar teratur dan berhasil mewujudkan individu dan masyarakat yang berbudi luhur.
Solusi Islam
Islam memiliki beberapa langkah pencegahan dan penanganan untuk mencegah bullying. Pertama, peran negara. Dalam hal ini, kurikulum pendidikan harus didasari pada akidah Islam. Menanamkan akidah Islam sejak dini menjadi modal utama. Anak yang beriman tidak akan melakukan hal-hal yang Allah larang. Segala jenis hiburan yang disajikan dalam media pun harus yang bebas dari kekerasan, pelecehan, maksiat, dan segala yang dilarang dalam Islam.
Negara menutup segala akses yang dinilai menyimpang dari tujuan pendidikan Islam. Sekolah-sekolah juga harus menerapkan kurikulum berbasis Islam. Setiap guru tidak akan dipusingkan dengan beban kerja dan gaji rendah. Pada masa peradaban Islam, misalnya, guru digaji tinggi sehingga mereka bisa fokus mendidik generasi penerus dengan baik.
Kedua, peran masyarakat. Masyarakat membiasakan sistem Islam dengan berbuat amar makruf nahi mungkar. Saling peduli dan memperhatikan yang terjadi pada sekitar, tidak cuek apalagi apatis. Tumbuh rasa saling menyayangi karena Allah.
Ketiga, peran keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak. Orang tua tidak akan terbebani dengan biaya pendidikan sebab negara memfasilitasi pendidikan secara gratis untuk rakyatnya. Negara juga membuka peluang kerja bagi laki-laki sebagai kepala keluarga. Alhasil, orang tua tidak akan terbebani oleh masalah ekonomi dan ibu bisa fokus pada perannya sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya.
Demikianlah beberapa tindakan pencegahan dalam Islam. Sementara itu, terkait penanganan jika terjadi bullying, negara menerapkan sanksi tegas yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Anak yang sudah baligh, ia menjadi mukallaf dan sudah menanggung segala konsekuensi taklif hukum yang berlaku dalam syariat Islam. Dalam sistem Islam, siapapun yang sudah mukallaf, jika melanggar ketentuan syariat, ia harus menanggung sanksi yang diberikan. Namun, dalam kacamata sekularisme, anak yang sudah baligh, jika masih di bawah usia 18 tahun, tetap diperlakukan layaknya “anak-anak”.
Itulah yang akhirnya membuat anak kurang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya karena selalu dianggap “anak-anak”. Coba bandingkan ketika Islam menjadi landasan dalam kurikulum pendidikan keluarga dan sekolah, mereka akan mendapat pemahaman mengenai fase usia baligh terkait tanggung jawab, taklif hukum, serta konsekuensi segala perbuatannya.
Oleh karenanya, bullying bisa dihentikan dan diakhiri hanya dengan mengubah paradigma pendidikan serta menerapkan sistem Islam secara kaffah. Ini karena Islam memiliki lapisan pelindung terhadap bullying, yakni tindakan pencegahan dan sanksi hukum tegas terhadap pelaku bullying. Wallahualam.