Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Masyarakat)
#MuslimahTimes — Bukan sekedar ironi, peristiwa ini patut jadi keprihatinan mendalam bagi rakyat dan seluruh pemimpin yang ada di Indonesia. Pasalnya sehari setelah peringatan hari anak nasional (23/7), publik dikejutkan dengan berita penusukan yang berujung hilangnya nyawa seorang anak SD oleh teman sebangkunya.
Selasa (24/7) beredar info tentang terjadinya penusukan siswa sekolah dasar (SD) yang berujung pada kematian, di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Peristiwa yang terjadi pada Sabtu (21/7) tersebut diketahui khalayak dari media sosial yang kemudian ditanggapi oleh pihak yang berwajib.
FNM (12), siswa kelas VI SDN Cikandang 1 Cikajang, Garut, harus kehilangan nyawa di tangan HKM, teman sebangku sekaligus kawan bermain sehari-hari. Hilangnya buku tulis pelaku diduga kuat menjadi penyebab terjadinya hal nahas tersebut. Gunting yang pelaku bawa untuk pelajaran kesenian menjadi barang bukti hilangnya nyawa FNM. (Liputan6.com, 24/7)
Orang tua korban telah pasrah dan memilih islah atas apa yang terjadi pada anaknya. Adapun pihak berwajib hanya mampu melakukan penyelidikan dan pemeriksaan barang bukti, tanpa menahan pelaku. Alasan usia lagi-lagi menjadi ganjalan dalam proses penahanan pelaku kejahatan.
Korban telah kehilangan nyawa, orang tuanya pasrah atas kejadian tersebut. Lalu pelaku melenggang begitu saja dari hukuman? Dimana letak keadilan dalam kasus ini dan kasus-kasus lain yang serupa dengannya?
Menjadi hal yang menggelikan saat yang berwajib mengkritisi pemakaian gunting dalam pelajaran kesenian dan melarang siswa membawanya ke sekolah. Dengan alasan, gunting adalah senjata tajam. Pemakaiannya menjadi penyebab terjadinya kasus, gunting menjadi alat penusukan korban. Apakah itu solusinya, agar tidak lagi terjadi hal serupa? Gunting pada dasarnya memang tajam, tapi apakah pas jika disebut sebagai senjata tajam? Bagaimana dengan para penjahit yang menggunakan gunting untuk memotong bahan atau benang, apakah dikategorikan menggunakan senjata tajam? Atau seorang ibu yang memotong sayuran dengan pisau, apakah ia tergolong memakai senjata tajam?
Lemahnya penalaran dalam hal ini bisa terbukti dengan pemakaian barang keseharian untuk hal yang berbau kekerasan. Ikat pinggang atau gir motor misalnya, dua alat itu seringkali digunakan para pelajar sebagai senjata dalam kasus tawuran, padahal keduanya tidak tajam dan tidak tergolong senjata tajam.
Lalu bagaimana solusi praktis dalam kasus ini atau kasus-kasus serupa lainnya? Ada dua hal yang harus di garis bawahi yaittu : Pertama, peninjauan ulang hukuman bagi para pelaku kejahatan ‘di bawah umur’. Poin ini perlu mendapat perhatian khusus, mengingat kejahatan yang menimpa ataupun yang dilakukan oleh anak terus bertambah secara signifikan.
Banyak faktor yang selalu menjadi pesakitan dalam kasus kekerasan anak, mulai dari peran orang tua, sekolah, lingkungan masyarakat, hingga kebijakan negara. Namun masih sedikit yang melihat kesalahan sistem (yang diadopsi negara) sebagai biang kerusakan pola sikap anak saat ini. Sistem kapitalisme telah mendorong seluruh komponen penggerak masyarakat (terutama pengusaha) untuk memberikan fasilitas terbaik dalam proses penghancuran masa depan anak bangsa. Adapun liberalisme dan sekulerisme menyebabkan terputusnya koneksi antara anak dengan Sang Pencipta. Hilangnya keterikatan anak dengan Sang Pencipta itulah yang menjadi pintu gerbang kehancuran masa depan anak.
Lalu dalam hal kejahatan yang dilakukan, maka harus dihukum berdasarkan apa yang dijelaskan dalam Islam. Islam sangat memuliakan nyawa, kehilangan padanya harus digantikan dengan nyawa pula. Tak hanya nyawa, tangan, mata hingga gigi sekalipun harus diganti dengan hal yang sama. Dalam artian, hukuman bagi seorang pembunuh adalah dibunuh, orang yang menghilangkan mata orang lain harus mengganti dengan kehilangan pada matanya pula, begitu pula gigi. Boleh dilihat di QS 5:45 – “…jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya…”. Hukuman-hukuman ini dijamin akan membuat jera para pelakunya, siapapun mereka dan berapapun usia mereka.
Terkait dengan usia, Islam tidak mengenal batas usia untuk dikenakan hukuman, melainkan Islam memperkenalkan istilah ‘baligh’ sebagai batas waktu seseorang mulai terkena taklif hukum Islam. Dalam artian, orang yang sudah ‘baligh’, maka wajib baginya melakukan hal-hal yang diatur dalam Islam, termasuk dalam masalah ‘qishash’.
Kedua, memperjelas istilah senjata tajam dan pengkategoriannya sebagai benda terlarang. Senjata tajam adalah benda yang sifatnya tajam dan bisa digunakan untuk mempertahankan diri atau menyerang lawan. Dari pengertian di atas maka yang disebut sebagai senjata tajam haruslah yang bersifat tajam dan digunakan untuk mempertahankan diri atau menyerang lawan. Sehingga tidak semua benda tajam bisa dikategorikan sebagai senjata tajam. Begitu pula barang yang digunakan untuk mempertahankan diri atau menyerang lawan, tapi tidak tajam maka tidak juga disebut senjata tajam.
Dari pengertian di atas, maka gunting tidak bisa langsung disebut senjata tajam, karena secara keumuman, gunting tidak hanya digunakan untuk mempertahankan diri atau menyerang lawan.
Menjadi salah kaprah jika karena peristiwa ini, penggunaan gunting di sekolah menjadi dilarang. Karena terjadinya peristiwa tersebut bukan karena guntingnya, melainkan orang yang memakai gunting. Disinilah pentingnya pendidikan agama (yang mencakup moral dan perilaku) kepada anak. Anak jangan hanya dikenalkan pada teori-teori keilmuan saja, tapi kenalkan mereka dengan aturan agama (Islam), karena hanya dengannya anak akan belajar menempatkan diri dan menggunakan benda di sekitarnya dengan baik.
Keprihatinan mendalam yang terjadi harusnya membuahkan kebijakan yang solutif. Bukan hanya preventif. Sudah bukan zamannya lagi memberikan solusi palsu untuk rakyat, apalagi solusi yang terkesan membodohi. Rakyat butuh solusi cerdas yang dilihat dari akar permasalahan. Sungguh tak ada solusi lain, selain solusi yang bersumber dari Sang Pencipta, sumber dari segala sumber kehidupan, yakni Allah SWT.
Wallahu a’lam bis shawab.