Oleh : Neng RSN
#MuslimahTimes — Lagi, muncul aliran sesat di Indonesia tepatnya di Lingkungan Tower Sayabulu, Kota Serang (radarbanten.co.id). Aktivitas aliran sesat ini dinilai meresahkan warga sekitar, akhirnya dihentikan paksa polisi, senin (13/8/18). Pengurus Majelis Ulama Islam (MUI) Kota Serang telah mendatangi kediaman pasangan suami istri (pasutri) Rudi dan Aisyah Tusalamah Baiduri Intani sebagai pimpinan kelompok ini. Mereka menyebut kelompoknya dengan nama Kerajaan Ubur-Ubur.
Dari investigasi tersebut disimpulkan bahwa aliran tersebut sesat, karena banyak penyimpangan di dalam pemahamannya. Contohnya mempercayai Muhammad Saw berjenis kelamin perempuan, Ka’bah bukan kiblat shalat tapi hanya tempat pemujaan nabi, Hajar Aswad dicium banyak orang karena bentuknya mirip kelamin perempuan dan Aisyah pemimpin kelompok tersebut menyakini telah menerima amanah dari Ratu Roro Kidul untuk mencairkan uang dari bank di luar negeri dan Indonesia. Amanah ini didapat dari hasil menggali Al-Qur’an dan wangsit. Terlebih, Aisyah mengaku sebagai penganut Sunda Wiwitan. Jelas, Islam ternoda kalau modelnya seperti ini.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah mengapa berbagai aliran kelompok yang menjual kesesatannya selalu mendapatkan pengikut, meskipun mereka jelas menyimpang dari ajaran Islam. Selain Kerajaan Ubur-Ubur, kelompok seperti Ahmadiyah, Syi’ah, Lia Eden, agama Bahai, Padepokan Dimas Kanjeng merupakan beberapa deretan nama aliran sesat yang ada di Indonesia.
Aliran sesat di Indonesia ibarat benih-benih yang tersembunyi yang kini bangkit dari kesunyian, eksistensinya menyeruak mengisi media-media yang menghebohkan. Salah satu faktor tumbuhnya aliran sesat ini adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang tsaqofah Islam khususnya tentang pokok-pokok ajaran Islam serta lemahnya payung hukum untuk menindak aliran sesat. Aliran sesat ditindak hanya jika dipandang menimbulkan keresahan masyarakat, bukan karena tanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.
Para ‘pembela’ aliran sesat mendasarkan argumentasinya pada ide kebebasan berpendapat, beragama dan individu. Ide kebebasan ini sering diistilahkan sebagai hak asasi manusia (HAM), tidak lain merupakan bagian dari paham pluralisme. Oleh karena agama merupakan hasil daripada penafsiran masing-masing individu, dengan kata lain tidak ada kebenaran mutlak. Maka, menurut ‘pembela’ aliran sesat tidak relevan atau tidak layak untuk menyatakan bahwa suatu pemahaman agama itu sesat atau tidak sesat.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan ide bahwa tidak ada kebenaran mutlak, semua agama bisa dikatakan benar atau salah, maka dalam masyarakat yang pluralistik, yang terdiri dari individu-individu yang berbeda keyakinan agamanya, dasar argumentasi untuk membangun aturan kemasyarakatan tidak boleh diambil dari teks-teks dalil-dalil agama, khususnya Islam.
Disadari atau tidak, kini masyarakat telah menjadi pengemban paham sekularisme didalam kehidupannya. Ide-ide sesat ini digelontorkan pihak asing sebagai grand design (proyek besar) menghancurkan akidah umat Islam di Indonesia yang notabenenya mayoritas beragama Muslim, mereka memiliki kekhawatiran peradaban Islam akan berjaya kembali menggeser kejayaan mereka. Jika aliran sesat ini dibiarkan tumbuh subur, maka akan terjadi pengkaburan ajaran Islam, seolah-olah dalam Islam tidak ada sesuatu yang pasti (qath’i) untuk membedakan antara iman dan kufur atau antara Islam dan kafir. Jika terjadi kekaburan ajaran Islam ditengah masyarakat, maka umat akan kehilangan pengikat yang dapat menyatukan mereka. Dan lebih berbahaya lagi terjadi pemurtadan.
Persoalan diatas, pada zaman Rasulullah Saw pun pernah terjadi diantaranya penyimpanan Musailamah Al-kadzdzab dan Dzul Khuwaishirah pasca perang Hunain (cikal bakal gerakan Khawarij). Rasulullah Saw mengambil beberapa langkah untuk mengatasinya.
Pertama, menekankan prinsip Tabayyun (klarifikasi). Setelah mendengar berita kemunculan nabi palsu di bumi Yamamah, beliau segera mengirim utusan untuk memeriksa kebenaran. Sebagaimana Allah SWT perintahkan :
“Wahai orang-orang beriman! Jika datang kepada orang fasik membawa suatu berita, maka , periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” (QS. Al-Hujuraat : 6)
Kedua, melakukan mediasi secara persuasif. Usaha ini ditempuh melalui jalur korespondensi, walaupun demikian bukan berarti kebenaran menjadi urusan sekunder. Rasulullah Saw secara tegas mengingkari dan meluruskan penyimpangan atau kesalahannya.
Ketiga, diskusi dan argumentasi. Rasulullah Saw berusaha melakukan diskusi dan menunjukkan kesalahannya dengan memberikan argumentasi. Dalam kasus Musailamah, Rasulullah Saw sempat mengajak diskusi dan beliau menunjukkan kesalahannya dengan argumentasi telak, “Keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. Adapun sesudahnya; sesungguhnya bumi milik Allah, akan diwariskan pada siapa saja hamba yang dikehendaki-Nya. Akhir yang baik hanya diraih oleh orang-orang yang bertaqwa.“ ( Sirah Ibnu Hisyam, 2/601)
Keempat, mengantisipasi sejak dini. Dalam hadits-haditnya, beliau mengantisipasi adanya aliran-aliran menyimpang di kemudian hari. Tujuannya jelas agar umat Islam tanggap dan siap ketika menghadapinya. Imam Bukhari dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa nabi memprediksi kemunculan aliran Khawarij. Diantara karakter mereka: ibadah kuat, tapi bagai panah melesat. Disamping itu, nabi juga memprediksi adanya nabi-nabi palsu.
Kelima, saat semua cara halus sudah tidak digubris, baru diambil langkah terakhir, yaitu: eksekusi. Dalam catatan sejarah, pada akhirnya, Musailamah al-Kadzzab berhasil dieksekusi di perang Yamamah (12 H) oleh Wahsyi (al-Rahīq al-Makhtūm, 416). Demikian juga Khawarij (pada perang Nahrawan, 38 H), bisa ditumpas walaupun tidak semuanya- pada masa kekhilafaan Ali bin Abi Thalib (Ibnu Khoyyāṭ, Tārīkh Khalīfah, 197). Namun perlu ditekankan bahwa dalam urusan eksekusi ini pun bukan berdasarkan kaca mata atau pendapat individu, tapi berdasarkan otoritas negara.
Peristiwa ini mengajarkan kepada umat Islam agar tidak berbuat anarkis, main hakim sendiri dalam menindak aliran menyimpang. Kasus ini harus diserahkan pada otoritas negara dan ditindak tegas. Jika semua langkah sudah ditempuh tapi tetap dalam kemurtadannya, maka eksekusinya dibunuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia”. (HR. al-Bukhâri)
Dan negara memiliki peran dan fungsi dalam setiap dimensi kehidupan rakyatnya, termasuk dalam hal menjaga akidah. Sebagaimana dalam sistem Islam yaitu Khilafah, negara ibarat perisai yang senantiasa menangkis semua ancaman yang dapat merusak akidah. Negara juga sebagai pelaksana hukum-hukum Syari’at-Nya menindak tegas pelaku penyimpangan tanpa pandang bulu.
Nyatanya, meskipun Indonesia mayoritas penduduknya Muslim tapi ‘para pengatur’ negara ini secara kasat mata lebih enjoy mengurusi rakyatnya dengan mengambil sistem kapitalis-sekuler yang jelas-jelas bukan berasal dari Islam. Jika kita ingat kembali, bagaimana negara kita menangani aliran sesat seperti kelompok Ahmadiyah. Negara memperlihatkan sikap lembeknya dengan tidak bertindak tegas membubarkan kelompok Ahmadiyah. Hal ini disinyalir karena adanya intervensi dari pihak asing, yaitu Amerika dan Israel. Akibatnya, para pengikut Ahmadiyah dengan bebasnya masih menjalankan ajarannya dan bisa jadi menyebarkannya.
Tanpa adanya rencana preventif dari negara, aliran sesat akan terus bermunculan. Ditambah lagi dengan paham sekuler dimana agama menjadi urusan masing-masing individu bukan tanggungjawab negara. Andai saja negara mampu menjalankan tugasnya sesuai tuntunan Rasulullah Saw, maka keamanan dan persatuan umat akan tercipta. Negara bersama rakyat secara totalitas dapat menjalankan ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Meraih Ridho Illahi dan mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Wallâhu a’lam.
=========================================
Sumber Foto : Polhukam.id