
Oleh. Novita L, S.Pd
Muslimahtimes.com–Kementerian Agama Republik Indonesia secara resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) pada Kamis, 24 Juli 2025, sebagai wajah baru pendidikan Islam yang diklaim lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut KBC sebagai transformasi besar dalam dunia pendidikan nasional, sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.
Sekilas, nama “Kurikulum Berbasis Cinta” terdengar indah dan menjanjikan. Cinta tentu merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan Rasulullah saw dikenal sebagai pribadi yang penuh kasih sayang. Namun, jika dikaji lebih dalam, kurikulum ini tidak berdiri di atas asas Islam secara menyeluruh. Justru, di balik wajah “cinta”, terdapat agenda berbahaya yang mengancam akidah dan identitas umat Islam sejak dini.
Salah satu bahaya dari KBC adalah misi deradikalisasi sejak dini, yang seringkali mengarah pada upaya sistematis untuk menjauhkan generasi dari ajaran Islam kaffah. Generasi yang belajar mencintai sesama manusia justru didorong untuk bersikap keras terhadap saudaranya sendiri yang ingin menerapkan syariat secara menyeluruh. Mereka dilabeli radikal, intoleran, bahkan dipersekusi. Pengajian dibubarkan, aktivis Islam diawasi, dan ajaran tentang penerapan syariat dijadikan sesuatu yang mencurigakan. Sementara itu, kepada non-Muslim diajarkan untuk bersikap sangat lembut, bahkan sampai merayakan hari raya mereka bersama-sama dan menjaga tempat ibadah mereka, sebuah sikap yang bertentangan dengan prinsip wala’ dan bara’ dalam Islam.
Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ اَتُرِيْدُوْنَ اَنْ تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ عَلَيْكُمْ سُلْطٰنًا مُّبِيْنًا ١٤٤
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu menghendaki untuk memberi alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”
(QS. An-Nisa: 144)
Islam tidak melarang berbuat adil kepada nonmuslim, namun menempatkan kecintaan kepada mereka melebihi kepada sesama Muslim adalah penyimpangan besar. Sementara itu, KBC justru berpotensi menjadikan umat Islam alergi terhadap ajarannya sendiri.
Lebih jauh, KBC merupakan produk pemikiran sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Agama dijadikan urusan pribadi dan tidak boleh masuk ke dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum dirancang berbasis cinta yang ditentukan oleh akal manusia semata, bukan bersumber dari wahyu. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam, karena Islam telah menetapkan bahwa kurikulum pendidikan wajib berbasis akidah Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Mengajarkan anak-anak bersikap pasif terhadap kemungkaran atas nama cinta dan toleransi akan menjadikan mereka generasi yang lemah dan permisif. Padahal, Islam mendidik umat untuk menjadi generasi yang kuat dalam akidah dan tegas dalam menyikapi kemungkaran.
Dalam sistem Islam, negara wajib menjadikan akidah Islam sebagai asas kurikulum pendidikan. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyyah) yang menjadikan akidah sebagai landasan berpikir dan syariat sebagai standar perbuatan. Dengan begitu, lahirlah generasi bertakwa yang taat kepada Allah secara totalitas.
Allah SWT berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu takut dan jangan merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.'” (QS. Fussilat: 30)
Jika negara benar-benar ingin memperbaiki krisis moral, intoleransi, dan degradasi sosial, maka satu-satunya jalan adalah kembali pada Islam secara kaffah. Bukan melalui kurikulum cinta yang justru menjauhkan anak-anak dari syariat dan menggiring mereka menjadi generasi liberal yang kehilangan jati diri Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.