Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Seorang konten kreator membuat unggahan berisi “normalisasi istri tidak bekerja, 100 persen dinafkahi suami.” Respons netizen wanita justru menolak dengan berbagai alasan. Ada yang bilang, enak punya duit sendiri, tidak mau bergantung sama laki-laki, bosan di rumah saja, dan jaga-jaga kalau ditinggal suami. Alasan yang semuanya bermuara pada kebutuhan akan eksistensi dan materi.
Padahal, istri tidak bekerja itu normal. Tidak melanggar hukum. Tidak melanggar adat. Tidak melanggar budaya ketimuran kita, yang notabene akar perkawinan tradisional adalah suami bekerja dan istri menjadi ibu rumah tangga. Bahkan, keberadaan istri tidak bekerja ini juga diatur dalam undang-undang.
Landasan istri tidak bekerja dalam hukum positif adalah Pasal 34 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan, “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.”
Dari sini jelas, kedudukan istri asal muasalnya adalah tidak bekerja, karena nafkah ditanggung suami. Jika ada suami yang melalaikan kewajibannya memberi nafkah, bisa dituntut secara hukum. Jika ada suami yang memaksa istri untuk bekerja mencari nafkah, juga bisa diperkarakan. Apalagi suami yang malas dan malah bergantung pada penghasilan istri, tidak hanya melanggar UU Perkawinan tetapi juga syariat Islam. Lantas mengapa para wanita justru lebih suka bekerja?
Dipicu Gerakan Feminis
Entah sejak kapan istri tidak bekerja itu dianggap aneh, sehingga harus dinormalisasi. Yang jelas, sejak era 80-an, berkembang isu emansipasi wanita yang digerakkan oleh kekuatan feminis global. Sebuah upaya untuk menuntut persamaan hak wanita dengan laki-laki, termasuk di dunia kerja. Wanita didorong untuk memiliki penghasilan seperti halnya pria.
Di Indonesia, munculnya gerakan emansipasi, berkelindan dengan kesulitan ekonomi para suami dalam memberi nafkah. Tingkat pendidikan yang rendah, standar gaji yang minim, sulitnya lapangan pekerja dan tingginya harga kebutuhan hidup, memaksa rumah tangga mencari penghasilan tambahan. Istrilah yang akhirnya membantu para suami menutupi kebutuhan hidup.
Ditambah lagi, lapangan pekerjaan di sektor-sektor tertentu, justru membuka peluang lebar-lebar untuk kaum perempuan. Maka di masa itu, para wanita ramai-ramai menjadi buruh pabrik, tenaga pemasaran, pramuniaga, kasir dan tenaga administrasi lainnya. Kaum laki-laki semakin tersisih dari kancah ekonomi.
Selain keterampilan, ketelitian dan kerapiannya, para wanita disukai dunia kerja karena bisa digaji lebih rendah daripada pria, tanpa protes. Tanpa harus memberikan tunjangan keluarga, seperti halnya pekerja pria. Wanita yang bekerja di sektor padat karya itu, tidak punya pilihan lain. Terpaksa menerima, demi dapur bisa ngebul.
Pemberdayaan Salah Arah
Fenomena istri bekerja, sejatinya menyebabkan ketimpangan dalam rumah tangga. Akhirnya, banyak suami abai, dan justru istri yang menghasilkan pendapatan untuk keluarga. Data BPS menyebut, saat ini ada 14,37% perempuan sebagai breadwinners atau pencari nafkah utama dalam keluarga. Baik memiliki suami atau dia seorang ibu tunggal.
Kondisi lebih menyedihkan lagi adalah ketika suami benar-benar menganggur dan tidak punya penghasilan. Pendidikan dan budaya kita, juga tidak melahirkan laki-laki yang benar-benar bertanggungjawab. Bahkan saat ini, lahir istilah-istilah yang merujuk pada laki-laki yang hanya bermodal dengkul, tapi mencari istri yang mandiri. Atau, nekat menikah tanpa punya penghasilan tetap, sementara istri juga tidak bekerja.
Akhirnya, tak sedikit keluarga yang jatuh miskin pascanikah. Istri terpaksa ikut hidup dalam kemiskinan. Melihat realita ini, isu pemberdayaan perempuan semakin bertiup kencang. Perempuan harus mandiri, bisa menghasilkan uang sendiri. Kasarnya, jika perempuan miskin, maka bekerjalah.
Ketika suami tidak bisa memberi nafkah, bukan suami yang diberdayakan, malah istri yang didorong memberdayakan diri. Dengan narasi kemandirian ekonomi, para istri ramai-ramai mencari uang sendiri. Mereka dipaksa ikut bertanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan. Kondisi yang sebenarnya bukan tanggung jawab mereka, melainkan suami dan negara.
Sejak itulah, perempuan dianggap berdaya jika bisa menghasilkan uang. Sebaliknya, perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga dan tidak menghasilkan uang, dianggap tidak berdaya. Hanya beban suami dan bahkan beban negara. Dianggap tidak normal. Akhirnya, fitrah perempuan tertindas dalam roda-roda perekonomian. Dilema antara rumah dan pekerjaan.
Pekerjaan Utama Istri di Rumah
Jika bekerja dimaknai sebagai keluar rumah untuk melakukan aktivitas yang menghasilkan uang, sebenarnya tidak memandang jenis kelamin, laki-laki dan wanita boleh melakukannya. Baik dia masih lajang, maupun sudah menikah. Namun di dalam Islam, ada pembedanya berkaitan dengan status hukum, tujuan dan rambu-rambu dalam bekerja itu sendiri.
Bagi laki-laki, bekerja itu status hukumnya wajib, karena tujuannya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa menafkahi keluarganya. Karena, hukum nafkah ada di pundaknya. Wajib memberi nafkah sesuai kemampuan. Dan, kewajiban nafkah ini tidak gugur, baik istri bekerja maupun tidak bekerja. Suami tetap wajib memberi nafkah 100 persen kepada istrinya.
Sementara bagi seorang istri, bekerja itu status hukumnya mubah alias boleh, karena tujuannya membantu ekonomi keluarga atau berkarya memanfaatkan skill dan pengetahuannya. Dan, meski dia bekerja dan punya penghasilan, tetap wajib dinafkahi suami 100 persen. Bahkan, tidak wajib baginya untuk menafkahi keluarganya. Jika ia menginfakkan penghasilannya untuk keluarga, jatuhnya adalah sedekah. Dan itu juga aktivitas yang mulia.
Jadi, istri bekerja atau tidak bekerja, dua-duanya dibolehkan di dalam Islam. Sebab, hukumnya mubah. Istri tidak bekerja itu normal dan istri bekerja itu juga normal-normal saja. Tidak perlu dipertentangkan atau didikotomi. Yang penting diperhatikan jenis pekerjaan, usia saat bekerja dan durasi waktu lamanya bekerja.
Dalam peradaban manusia, banyak pekerjaan yang membutuhkan sentuhan tangan perempuan. Seperti guru TK-SD, perawat, bidan, dokter kandungan dan sebagainya. Tetapi saat istri baru menikah dan punya balita, alangkah baiknya fokus mengasuh dan mendidik anak. Saat anak sudah cukup mandiri, bisa kembali bekerja untuk membawa manfaat di tengah-tengah umat.
Namun, relasi pernikahan yang ideal adalah suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur rumah tangga. Suami yang bekerja ke sektor publik dan istri “bekerja” di sektor domestik. Meskipun realitas pernikahan tidak hanya satu model seperti itu, tetapi itulah yang ideal dan membawa maslahat secara maksimal.
Menjadi istri atau ibu rumah tangga yang 100 persen dinafkahi suami, adalah model rumah tangga yang normal. Jangan dipandang sebelah mata. Istri yang tidak bekerja bukanlah beban suami, bukan beban negara. Istri tidak bekerja di luar rumah, bukanlah perempuan yang lemah dan tidak berdaya. Ia bukanlah pengangguran.
Sebaliknya, ia justru fokus pada pekerjaan utamanya di ruang domestik. Fokus mengatur rumah tangga, yang notabene pekerjaan paling banyak dan detail. Bisa memakan waktu dua pertiga hari atau sekitar 16 jam setiap harinya. Katakanlah mulai penghuni rumah bangun tidur pukul 05.00 WIB, ibu sudah harus bekerja sampai mereka tidur pukul 21.00 WIB.
Beratnya Pekerjaan Domestik
Banyak laki-laki yang menganggap istri di rumah saja itu kerjaannya ringan. Cuma masak, nyuci, nyapu, ngepel, nyetrika dan ngasuh anak. Padahal jika dirinci, niscaya mereka tidak akan sanggup. Bayangkan saja, untuk sepiring nasi plus lauk pauk yang dimakan suami, istri pagi-pagi sudah belanja membeli beras dan sayur mayur. Memilih sayuran dan antre bisa 30 menit. Menyiangi dan menyiapkan bumbu lalu memasaknya bisa 1-2 jam.
Untuk baju licin yang akan dipakai suami, istri harus mencucinya sekitar 30 menit. Menjemurnya 5 menit. Setelah kering, menyetrikanya 15 menit. Belum lagi melipat baju sehari-harinya, sekitar 10 menit. Total hitung saja 1 jam. Belum baju istri sendiri dan baju anak-anak. Hitung saja 2 jam.
Sementara untuk merapikan tempat tidur, menyapu, mengepel dan membersihkan debu di perabotan, tentu tak sebentar. Lalu perlengkapan makan, piring dan gelas yang bersih dan licin, itu tidak tiba-tiba seperti sulap, tersusun rapi di rak. Hitung saja 1 jam. Total sudah 5 jam kerja.
Ditambah lagi mengurus balita, misalnya. Memandikan, memakaikan baju, menyuapi, menemaninya bermain, mendampinginya belajar, mengajaknya mengekplore lingkungan di luar rumah, menidurkannya dan membangunkannya. Semua itu pekerjaan yang tak hanya menguras energi, juga emosi. Ini hampir-hampir tak terhitung berapa lamanya dan betapa melelahkannya.
Semua pekerjaan itu, sudah membuat para ibu kelelahan. Forbes Women menyebut, sebanyak 89% ibu rumah tangga kewalahan dengan tugasnya. Bagaimana halnya yang dengan yang juga harus bekerja di luar rumah. Itulah mengapa marak fenomena istri yang stres dan tidak bahagia.
Entaskan Nasib Perempuan
Di peradaban sekuler kapitalis, keberadaan perempuan bekerja bukanlah semata untuk berkarya dan berdaya untuk mengembangkan bakatnya. Ini semua terjadi karena desakan ekonomi. Perempuan menjadi mandiri pun, didorong oleh situasi dan kondisi, di mana hidup semakin sulit dan berat. Jika boleh memilih, hati nurani terdalam ingin fokus dengan pekerjaan utama sebagai ummu warobbatul bait. Menjadi ibu dan mendampingi tumbuh kembang anak.
Inilah fitrah normalnya seorang perempuan. Dan, fitrah ini hanya bisa dipenuhi jika peradaban ini kembali menegakkan aturan Islam. Sebab, Islamlah yang paling lengkap dan detail mengatur relasi suami istri dan bagaimana tanggung jawab negara dalam memastikan relasi itu berjalan dengan ideal.(*)
