Oleh : Neng RSN
#MuslimahTimes –– Negeri kita terkenal dengan negeri yang indah yang kaya akan kekayaan alam dan budaya. Lebih dari 20 suku dan lebih dari 100 budaya ada di negeri kita. Dan juga memiliki tempat-tempat menarik untuk pariwisata – wilayah pedalaman yang indah, adat istiadat, reruntuhan budaya dan sejarah yang menarik, pantai-pantai, dan banyak lagi. Mencium adanya celah guna meraup keuntungan, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, negeri ini mempromosikan diri sebagai tujuan wisata untuk turis-turis asing dengan kampanye “Pesona Indonesia”.
Dalam Rakorpusda yang diinisiasi oleh Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman serta dihadiri oleh beberapa pemerintah pusat dan daerah di Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Rabu (29/8/2018), Pemerintah didukung oleh Bank Indonesia (BI) dan OJK akan bersinergi untuk mendorong pariwisata untuk meningkatkan angka devisa negara. Ada beberapa alasan mengapa sektor pariwisata yang harus digenjot untuk meningkatkan devisa negara. Pariwisata merupakan penyumbang devisa terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan batu bara (jogja.tribunnew.com).
Dengan mengusung konsep kearifan lokal, yaitu dengan cara mengangkat budaya lokal yang bertujuan agar ini menjadi kepentingan bersama semua rakyat. Cara ini diharapkan mampu mengembangkan pariwisata untuk diperkenalkan ke seluruh dunia sebagai identitas negara. Sebagai contohnya: pemerintah kabupaten Probolinggo yang berharap Festival Gunung Slamet (FGS) ditetapkan Kemenpar sebagai agenda pariwisata nasional. Hal ini dilakukan guna melestarikan budaya dan promosi pariwisata di lereng sebelah timur Gunung Slamet. Jika mengacu pada tahun-tahun sebelumnya rangkaian acaranya meliputi prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah dilakukan pada hari pertama dan selanjutnya disemayamkan sebelum ruwatan, namun dalam kegiatan kali ini dilakukan pada hari kedua dan langsung ruwatan. Dengan demikian, kegiatan pada hari pertama FGS 2018 diisi berbagai atraksi bernuansa religi (republika.co.id).
Sama halnya dengan Pemerintah Kota Palu, yang merayakan hari jadi kota Palu dengan mengadakan Festival Pesona Palu Nomoni tiap tahunnya. Festival ini mengangkat kembali ritual sesajen penyembuhan suku Kaili yang berada di pantai Talise, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ritual ini digunakan ratusan tahun lalu sebelum mengenal dokter dan rumah sakit. Cara terampuh bagi masyarakat untuk menyembuhkan.
Dengan sistem ekonomi kapitalis dan liberal yang saat ini menjadi rujukan, merupakan konsekuensi logis jika prinsip reveinting government (Regom) ada disetiap kebijakan yang diambil. Termasuk sektor pariwisata yang dijadikan sebagai katalisator pembangunan, tanpa mempertimbangkan kehalalan atau keharaman dari sudut pandang Hukum Syari’at. Dalam Festival Pesona Palu Nomoni misalnya, walaupun Festival Pesona Palu Nomoni tampil dengan konsep Islam yaitu wudhu dan rebana, namun tetap didalam pertunjukannya disiapkan pula kambing dan ayam untuk dikorbankan. (www.antaranews.com, 28/09/17).
Dengan alasan menyuguhkan budaya lokal yang berbeda dari destinasi wisata lainnya, ‘penguasa’ justru membuka peluang terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara yaitu pendangkalan akidah. Mendorong masyarakat kembali pada paham animisme dan dinamisme. Dan keberadaannya menarik masyarakat masuk ke dalam lembah kesyirikan. Menyeret kembali masyarakat ke jaman jahiliyah dimana tak mengenal Allah SWT sebagai Tuhan yang berhak disembah dan meminta segala sesuatu.
Pengembangan pariwisata dengan menghidupkan budaya lokal yang berbau kesyirikan dengan dalih memiliki nilai”daya jual” terbukti mengundang murka Allah SWT. Peristiwa gempa bumi dan tsunami yang menghantam kota Palu hari Jumat sore, (29/09) misalnya. Dimana masyarakat setempat yang sedang asyik menantikan acara pembukaan fetsival ‘Pesona Palu Lomoni’ yang digelar di pantai anjungan Nusantara, Kota Palu. Ada seribuan warga yang berkumpul, termasuk pelajar yang ikut mengisi acara festival itu. Diperkirakan korban meninggal dunia akibat gempa-tsunami di Palu dan sekitarnya telah mencapai 1.571 orang dan sebanyak 1.000 lainnya mungkin terkubur reruntuhan rumah dan bangunan (republika, 29/09/2018).
Astaghfirullah. Inilah bukti nyata bahwa masyarakat telah menjadi masyarakat yang sekuler. Karena segala sesuatunya tidak dikaitkan dengan hukum syariat, mereka telah terlena oleh kesenangan semu. Memilih wisata berdasarkan nafsu tanpa bisa membedakan mana yang Haq dan bathil. Terlebih lagi para ‘pengatur’ negeri ini yang telah lalai dalam menjalankan fungsinya sebagai negara yang sejatinya sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung) rakyat.
Cukuplah bencana demi bencana silih berganti dan teguran bertubi-tubi yang menerpa negeri ini, kita jadikan sebagai muhasabah diri. Mulai dari gempa Lombok yang berlangsung ratusan kali, hingga gempa dan tsunami Palu dan Donggala. Pengingat bahwa kita adalah hamba yang lemah, bergantung dan tidak memiliki kekuatan apapun tanpa pertolongan Allah SWT. Dan sepatutnya taat terhadap seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Islam tidak melarang tentang adanya eksistensi pariwisata selama itu tidak bertentangan dengan hukum Syari’at. Dalam Islam, Negara sebagai perisai yang akan menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar, menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemunkaran di tengah-tengah masyarakat. Prinsip dakwah inilah yang mengharuskan ‘penguasa’ untuk tidak membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara. Termasuk melalui sektor pariwisata .
Obyek yang dijadikan tempat wisata, bisa berupa potensi keindahan alam, yang nota bene bersifat natural dan anugerah dari Allah SWT, seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun dan sebagainya. Bisa juga berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Obyek wisata seperti ini bisa dipertahankan, dan dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Adapun hikmah yang didapat dari pariwisata bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Meski sektor pariwisata bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi dalam sistem Islam sektor pariwisata ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara. Selain karena tujuan utama dipertahankannya sektor ini adalah sebagai sarana dakwah dan di’ayah (propaganda), Negara telah memiliki 4 (empat) sumber devisa yang bersifat tetap yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa.
Begitulah sistem Islam yang mengatur tentang kebijakan negara dalam sektor pariwisata. Tentunya semua itu dapat terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai negara, bukan dalam negara demokrasi dengan sistem kapitalis dan liberal saat ini. Pemberlakuan sistem Islam yang akan menghasilkan kebijakan paripurna lagi sahih untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Insyaallah
Wallahu a’lam
=======================
Sumber Foto : Pondok Salam