Oleh : Vivie Dihardjo
(Pegiat Komunitas Ibu Hebat, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan)
#MuslimahTimes –– Beberapa bulan ke depan negeri ini akan menggelar sebuah hajatan akbar memilih seorang pemimpin yakni Pemilu Presiden (PILPRES). Dan saat ini kita sedang di dalam tahapan kampanye calon presiden. Blusukan, debat antara tim sukses masing-masing calon di media elektronik hingga media sosial menjadi pemandangan sehari-hari dalam beberapa bulan terakhir. Namun sayangnya perdebatan antar calon presiden berikut para tim suksesnya seringkali bukan persoalan substantif bangsa ini. Semisal sektor ekonomi yang terus menurun, kesenjangan sosial yang semakin tajam, daya beli masyarakat yang ambruk, konflik antar golongan yang makin rentan dan hukum yang semakin tidak adil. Perdebatan itu digeser pada persoalan emosional. Munculnya berbagai sindiran antar calon, seperti sontoloyo, genderuwo, tampang boyolali menjadi topik perdebatan bahkan hingga di level grassroot. Alangkah menyedihkannya.
Hajatan pilpres adalah untuk memilih kepala negara dan kepala pemerintahan. Bagaimanakah selanjutnya negara ini dijalankan akan selalu terkait dengan visi misi yang diusung oleh para calon. Masyarakat perlu mengetahui visi misi tersebut. Bahkan visi misi tersebut seharusnya bisa dibedah dan dikritisi didalam kampus dimana para intelektual berada. Sayangnya kampus justru disterilisasi dari aktivitas bernuansa politis.
Media sebagai salah satu alat untuk bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai para calon presiden justru berbalik menjadi alat propaganda dan mengangkat isu-isu kontroversial, seperti memperbandingan film a man called ahok dan hanum & rangga dibuat sedemikian rupa sehingga keduanya dianggap sebagai reprentasi pendukung masing-masing calon. Maka muncul pertanyaan dalam masyarakat sebenarnya apa manfaat yang diperoleh masyarakat dalam model kampanye calon pemimpin seperti ini? Pendidikan politik macam apa yang ingin diperlihatkan pada masyarakat jika argumen-argumen “baperan” terus menerus diblow up?
// Bagaimana Islam Memilih Pemimpin //
Politik akan berada pada titik terendah jika model kampanye sentimentil ini menjadi jualan para kandidat. Sedangkan memilih pemimpin didalam islam adalah politik tingkat tinggi. Islam memandang kepemimpinan sebagai aspek yang sangat mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat. Begitu pentingnya aspek kepemimpinan, Rasulullah bersabda
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Pentingya kepemimpinan dalam islam juga dikisahkan dalam pembaitan Abu Bakar As Shiddiq ra sebagai khalifah di Saqifah Bani Saidah setelah wafatnya Rasulullah, saat jasad Rasulullah yang agung dan mulia belumlah dimakamkan, para sahabat lebih dulu memilih khalifah pengganti Rasulullah.
Pentingnya kepemimpinan didalam islam juga ditunjukkan banyaknya ayat Alquran yang mengatur soal ini.
Memilih seorang pemimpin tidak hanya berdimensi duniawi namun juga berdimensi akhirat. Sehingga apa yang diusung oleh para kandidat menjadi salah satu tolak ukur bagaimana memilih seorang pemimpin. Realita saling sindir, sontoloyo, genderuwo, tampang boyolali, buta dan tuli dan pembiaran terhadap pelecehan terhadap islam oleh para pendukung kandidat menjadikan politik memilih pemimpin berada dalam level yang rendah dan tidak berbobot.
Alloh berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Ma’aidah [5]: 57)
Dalam ayat yang lain Alloh berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu menjadi WALI (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
Memilih pemimpin adalah politik level tinggi. Seharusnya diisi oleh para kandidat yang visioner bukan sekedar mengejar menang kalah. Pemimpin haruslah visioner karena dia akan mempertanggungjawabkan segala hal didalam kepemimpinannya bukan hanya kepada rakyat yang dipimpinnya tetapi juga kepada Alloh.
Rasulullah bersabda,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (HR. Bukhori, muslim).
Pemimpin yang visioner menjadikan ridho Alloh sebagai visinya. Kekuasaan adalah jalan untuk meraih ridho Alloh.
Alloh berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59).
Pemimpin yang menjadikan Alquran dan sunnah sebagai sistem yang mengatur kehidupan masyarakat adalah pemimpin yang visioner.
Pemimpin yang melalaikan amanahnya telah Alloh nyatakan,
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi).
Wallahu’alam bisshowab