Oleh : Ola Ummu Athiyah
(Ibu Rumah Tangga, Makassar)
#MuslimahTimes — Tahun 2018 akan segera berlalu, tapi rupa-rupanya bencana yang bertandang masih enggan beranjak dari negeri tercinta ini. Belum pupus dari ingatan, gempa menggoncang Lombok, NTB pada 29 Juli 2018. Disusul gempa dan tsunami serta likuifaksi menerjang Palu, Sulawesi Tengah 28 September 2018. Akhir Desember tahun ini pula, tsunami menghajar sebagian Banten dan Lampung.
Ahli ekologi dan evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Tukirin menjelaskan kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut. Menurutnya, longsoran tebing bawah laut biasanya tak menimbulkan gelombang besar, namun kondisi pasang air laut menyebabkan terjadinya gelombang tinggi. Tukirin saat dihubungi di Jakarta, Minggu(23/12), sependapat dengan yang dikemukakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil di Selat Sunda pada Sabtu(22/12) malam(Republika.co.id, 24/12/2018).
Direktur Pusat Penelitian Tsunami Universitas California Selatan Costas Synolakis menyebut, tsunami yang terjadi di pesisir wilayah Banten dan Lampung tersebut bukanlah tsunami pada umumnya yang terjadi karena aktivitas tektonik atau gempa bumi. Tsunami kali ini terjadi karena aktivitas vulkanik.
Profesor emeritus ilmu bumi di Universitas Northwestern, Emile Okal, menyebut gunung berapi adalah sesuatu yang terus hidup. “Ini adalah sesuatu yang secara geologis tidak dalam kondisi stabil kapan pun,” ujar Emile yang telah mempelajari tsunami selama 35 tahun. Menurutnya, aktivitas gunung akan menjadi tanah longsor dan jika gunung berapi tersebut berada di bawah air maka akan menggusur air dan membuat gelombang. Okal mengatakan, untuk mendeteksi tsunami dengan benar, Indonesia perlu menghabiskan sekitar satu miliar dolar untuk teknologi dan tenaga sepanjang waktu di sepanjang wilayah pesisirnya. Menurutnya, bahkan pada saat itu bukan jaminan bahwa peringatan akan datang pada waktunya (Republika.co.id).
Tsunami yang menerjang kawasan pesisir Selat Sunda, Sabtu(22/12), masih dipertanyakan sejumlah pihak. Hal tersebut lantaran tidak adanya peringatan kebencanaan dari tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanologi erupsi Anak Krakatau tersebut. Apakah kita mempunyai teknologi dan sistem peringatan dini yang memadai? Jangan salahkan publik jika kalangan awam ini di negeri ini meragukan teknologi dan sistem informasi dini bencana yang dijalankan oleh pemerintah.
Mitigasi Bencana Berbasis Politik
Mitigasi bencana adalah bagian dari upaya untuk meminimalisir resiko dan dampak bencana. Mitigasi bencana berbasis politik merupakan politik penanggulangan bencana, yaitu kebijakan penanggulangan bencana yang meliputi upaya pencegahan, tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. Kesemuanya harus diperhatikan sama pentingnya, tidak boleh lebih fokus pada satu atau dua hal, namun seluruhnya mesti dilakukan. Namun aspek ini sering diabaikan oleh pemerintah sehingga setiap bencana yang terjadi selalu berdampak massal.
Bagaimanapun, kita tidak bisa menawar posisi negeri ini yang pantainya banyak berhadapan langsung dengan perbatasan lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menyimpan potensi gempa dan tsunami yang besar dan juga bagian dari “ring of fire”, negara kepulauan yang kaya gunung berapi, bahkan gunung berapi aktif di tengah laut. Semua hal tersebut membuat negara kita rawan bencana alam. Sehingga kebutuhan akan sistem peringatan dini bencana yang memadai sebagai bagian dari upaya adaptasi dan mitigasi bencana tak bisa ditawar-tawar lagi.
Siapapun yang memimpin Indonesia hari ini, baik di level pusat dan daerah, harus mempunyai kesadaran politik penanggulangan bencana. Karenanya, harus memiliki kesadaran paradigmatik akan pengelolaan tanggap bencana dan menyiapkan segala hal yang diperlukan, mulai dari perangkat kebijakan, pengorganisasian yang baik, SDM handal dan terlatih, anggaran besar khusus bencana, serta sarana dan prasarana yang melimpah.
Namun sayangnya, politik bencana ini belum berjalan optimal. Kebijakan tanggap bencana mulai dari penguasaan daerah rawan bencana, peta potensi bencana, pembangunan sarana tanggap darurat, pemindahan pemukiman penduduk di area rawan bencana, belum dilakukan optimal.
Kesadaran pemerintah daerah untuk penanggulangan bencana masih rendah, SDM untuk proses tanggap darurat pun masih sangat kurang, ketersediaan prasarana dan sarana di daerah bencana sering tidak cukup karena jumlah korban yang besar akibat tidak ada upaya pencegahan sebelumnya, dan yang penting juga adalah kebijakan penganggaran yang belum sigap. Akibatnya, seringkali bencana alam menjadi malapetaka besar yang menelan banyak korban jiwa, dan kerugian materi yang besar.
Semestinya dampak ini bisa diantisipasi manakala kebijakan politik tanggap bencana berjalan sebagaimana mestinya. Namun lagi-lagi ada persoalan mendasar yakni kesalahan paradigmatis pada pemerintahan hari ini terhadap pengaturan urusan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam dan pemanfaatannya. Ini karena pandangan sekuler (pemisahan agama dari urusan dunia) dalam pengaturan berbagai urusan.
// Pandangan Islam //
Kejadian bencana yang bertubi-tubi melanda tidak diposisikan sebagaimana dalam pandangan Islam, sehingga berpengaruh terhadap langkah tindak. Sementara Rasulullah SAW, telah menjelaskan perihal peristiwa bencana ini.
Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.” Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian… Maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!”
Begitu juga dengan Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!” begitu juga dengan cucu Umar bin Khatthab, yaitu ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, menuliskan kepada seluruh wali (Gubernur) di masanya melalui surat pengumuman: “Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
Ini memengaruhi langkah tindak pasca terjadinya gempa, yaitu penguasa akan memerintahkan semuanya (termasuk para pemimpin) melakukan muhasabah, koreksi diri terhadap kelalaian, bertaubat sambil mengingat kemaksiatan apa yang dilakukan sehingga Allah menurunkan bencana alam tersebut. Hal ini juga menjadi penjaga kesadaran ruhiyah masyarakat, khususnya yang berada pada daerah rawan bencana alam untuk senantiasa menjaga ketaatan pada syariah dalam lingkup individu dan masyarakat. Karena bencana, jika telah datang waktunya, akan memusnahkan semuanya baik yang taat maupun ahli maksiat. Kesadaran ruhiyah adalah bagian dari pengaturan urusan umat (politik). Karena Islam adalah harmoni akidah (keimanan) dan pelaksanaan syariat Islam.
Tapi lihatlah negara kita, bencana yang beruntun menerpa belum cukup memantik kesadaran ruhiyah, belum meninggalkan perbuatan maksiat. Mestinya disadari, dampak amoral dari liberalisasi budaya dan ekonomi, adalah atas kelalaian manusia. Kemudian Allah SWT memberi peringatan agar kita mengoreksi diri.
Karena itu wajib ada koreksi total terhadap seluruh sistem dan mekanisme penanggulangan bencana yang meliputi koreksi atas paradigma dan tanggungjawab layanan terhadap masyarakat. Jika masih berkawan dengan ideologi kapitalis-sekuler, maka bencana tetap disikapi sebagai fenomena alam yang tidak menggugah kesadaran umat manusia sebagai hamba Allah untuk melakukan kesalehan atas berbagai karunia hidup yang dilimpahkan Allah pada bumi ini.
Kebanyakan umat hari ini hanya pandai menikmati karunia berupa potensi alam dan keindahannya, namun tidak mensyukurinya, melainkan kufur terhadapnya. Sudah semestinya setiap bencana yang terjadi menjadi peringatan bagi umat untuk berbenah dan berjuang agar hukum-hukum Allah tegak, agar hidup menjadi berkah dan jauh dari musibah. Wallahu a’lam.