Oleh: Eva Rahmawati
#MuslimahTimes — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pembangunan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Sebab, dia mengatakan, pembangunan jalan tol yang terintegrasi dengan pelabuhan, kawasan industri, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan kawasan wisata juga akan berdampak positif pada daerah-daerah sekitarnya (Republika.co.id, 13/1/19).
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi, berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan rakyat. Adalah Arif Munandar, salah satu pengusaha rumah makan, yang merasakan dampak negatif dari pembangunan tol Trans Jawa, ia mengatakan bahwa sebagian besar kendaraan kini memanfaatkan ruas bebas hambatan tersebut sehingga kondisi jalur pantura relatif sepi.
Dan berdampak pada penurunan pendapatan. Omzet restoran di sepanjang jalur pantai utara (pantura) Kabupaten Batang, Jawa Tengah kini hanya berkisar Rp 1,5 juta per hari. Nilai ini turun dibandingkan dengan sebelum tol Trans Jawa beroperasi, yakni antara Rp 2,25 juta – Rp 2,50 juta per har. (katadata.co.id, 11/1/19).
Sejatinya, penyediaan infrastruktur merupakan kewajiban negara, untuk menunjang kemaslahatan publik. Fasiltas publik harusnya dinikmati rakyat tanpa biaya dan membebani rakyat. Namun nyatanya, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat guna malah berimbas pada usaha, rakyat juga dibebani tarif tol yang tidak sedikit. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa dampak positif pembangunan infrastruktur hanya dirasakan oleh para kapitalis. Telah diketahui bahwa pembangunan infrastruktur di era rezim ini, dimodali dari hutang riba dan dikelola oleh pihak swasta baik lokal maupun asing dan aseng.
Benarlah bahwa sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan negeri ini, bagaikan lintah penghisap darah rakyatnya. Rakyat dibebani segala pajak guna membiayai APBN, ditambah dengan kebijakan pro kapitalis, rakyat dipaksa menerima dampaknya, rakyat juga tidak merasakan pertumbuhan ekonomi yang katanya meroket. Pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh segelintir orang yang menguasai korporasi besar. Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah dimiskinkan oleh sistem.
Dilansir oleh tirto.id pada hari Jum’at, 14/12/18. Menurut Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manan membenarkan bila orang-orang kaya di Indonesia merupakan kelompok utama yang menikmati pertumbuhan ekonomi di tanah air. Hal ini diketahui dari distribusi kekayaan dan pengeluaran.
Berdasarkan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, kata Manan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Menurut dia, hal ini menjadi pertanda adanya ketimpangan distribusi kekayaan.
Hal ini terkonfirmasi oleh data lembaga penelitian Oxfam yang dirilis pada 2017. Temuan itu menyatakan bahwa 4 orang terkaya di Indonesia memiliki harta lebih banyak dibanding gabungan harta 100 juta penduduk miskin di Indonesia.
Inilah watak asli sistem kapitalis, siapapun pemimpinnya jika masih setia dengan sistem tersebut rakyat selalu gigit jari. Hanya diberikan janji-janji manis. Janji menyejahterakan rakyat, nyatanya yang sejahtera justru para pejabat dan konglomerat. Janji mengurus rakyat, nyatanya rakyat yang justru ‘mengurus’ pejabat. Miris. Beban pajak dan segala kebutuhan pokok rakyat yang melangit ditambah dengan tingginya biaya kesehatan dan pendidikan ditanggung sendiri oleh rakyat.
Tak salah jika dikatakan sistem demokrasi kapitalisme hanya menghasilkan pemimpin yang ingkar janji dan tidak amanah. Janji-janji manis di masa kampanye mustahil terealisasikan, jika sistem ekonominya sendiri masih berpihak pada para kapitalis. Para kapitalis untung, rakyat yang kembali ‘buntung’. Janji hanya tinggal janji, untuk sekian kali rakyat kembali diberi harapan palsu. Bagaimana tidak, realisasi janji menyejahterakan pada faktanya hanya dirasakan oleh segelintir orang saja, bahkan ada gap kesenjangan sosial yang terbuka sangat lebar, antara yang kaya dan miskin.
Pemimpin ingkar janji dan rakyat tak diurusi adalah hasil dari sistem kapitalisme. Maka mempertahankan sistem rusak hanya menambah hidup rakyat semakin susah. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang bersungguh-sungguh meri’ayah rakyat. Aturan yang telah terbukti menjamin kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat dengan mudah tanpa membebani rakyatnya. Yaitu sistem Islam.
Sistem yang bersumber dari Allah Swt, Al Khaliq dan Al Mudabir. Terbukti secara historis selama 14 abad meri’ayah rakyat tanpa ada diskriminasi, baik yang kaya maupun miskin sama-sama memperoleh hak-haknya. Pembangunan infrastruktur pada masa kekhilafahan untuk kemaslahatan publik tanpa biaya dan membebani rakyatnya. Dan bukan dari hutang riba yang justru menghancurkan perekonomian negara.
Bertolak belakang dengan sistem kapitalisme yang menggenjot pemasukan pendapatan negara dari pajak dan hutang, dalam sistem Islam diambil dari kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara.
Ini sudah dibuktikan dalam sejarah Khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah Proyek Pembangun Rel Kereta Api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul. Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun. Bukti peninggalan ini masih bisa dilihat di Madinah. Bahkan, hebatnya Sultan Abdul Hamid II membangunnya dengan dana pribadinya.
Masih banyak bukti-bukti sejarah tentang kepemimpinan Islam dalam negara Khilafah yang benar-benar meri’ayah rakyat, berfungsi sebagai perisai bagi umat karena tegak dari kesadaran ruhiyah. Kepemimpinan mereka adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak, maka dalam memimpin tidak akan berlaku khianat apalagi ingkar janji. Selalu berusaha memberikan yang terbaik, tanpa membebani rakyatnya sedikitpun. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang hanya takut kepada Allah Swt. Aamiin.
Wallohu a’lam bishshowab.