Oleh : Dwi Agustina Djati, S.S
(Member Revowriter)
MuslimahTimes–Mega korupsi masih menjadi berita utama media nasional. Dari tahun ke tahun Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) meningkat. 2017 OTT sebanyak 19 kasus dan 2018 meningkat 29 kasus. Dari 19 OTT tersebut, salah satunya adalah hakim konstitusi Patrialis Akbar pada awal 2017. Selanjutnya penangkapan sejumlah kepala daerah hingga pejabat negara. Pada 2018 kebanyakan yang terlibat korupsi pejabat tingkat propinsi maupun kabupaten, anggota DPR dan sipir penjara. Suap, mark up dana pembangunan dan pengadaan barang dan jasa merupakan kasus-kasus yang dominan dalam khazanah korupsi di Indonesia.
Masuk 2019 korupsi tidak semakin surut. Terbaru OTT yang dilakukan KPK adalah ketua umum Partai bergambar Kabah. Dengan dugaan kasus jual beli jabatan di kementrian Agama. Penangkapannya menyeret sejumlah nama, dari ketua partai, pejabat propinsi, fungsionaris partai hingga menteri Agama. Luar biasa. 18 tahun pembentukan KPK tidak membuat jera para pelaku, justru tumbuh makin subur seperti jamur di musim hujan.
//Sistem Politik Demokrasi Penyebab Utama Korupsi//
Korupsi, menurut Klitgaard merupakan fungsi dari monopoli dan diskresi tanpa akuntabilitas (C = M + D – A). Sedangkan monopoli dan diskresi adalah cerminan dari kekuasaan. Jadi korupsi, bisa timbul karena adanya kekuasaan tanpa disertai akuntabilitas.(www.ti.or.id).
KPK adalah lembaga adhoc yang memiliki tugas tertentu, idealnya harapan akan peran KPK efektif, tidak terjadi. Seharusnya kasus korupsi semakin kecil, menyusut dan terkendali. Namun data Indeks Korupsi Indonesia saat ini masih di bawah rata-rata dunia. Hal itu mencerminkan bahwa keberadaan KPK sebagai lembaga super body masih belum memenuhi ekspektasi masyarakat.
Sistem politik demokrasi yang diterapkan memberi peluang besar berkembangnya korupsi di negeri ini. Modal besar saat kampanye untuk pemenangan pilgub atau caleg membuat mereka berpikir bagaimana caranya mengembalikan harta tersebut. Pada akhirnya janji manis kampanye hanya untuk rakyat tidak terbukti. Data OTT KPK sudah menunjukan hal tersebut. Mereka lupa sumpah jabatan dan amanah bekerja hanya untuk rayat seperti mimpi di siang bolong.
Tindakan pemerintah membentuk lembaga ini sebagai upaya preventif ternyata belum menampakkan hasil berarti. Independensi KPK juga dipertaruhkan.
//KPK dan Akuntabilitas Negara//
Deklarasi Tokyo menetapkan pengertian akuntabilitas sebagai kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya. Akuntabilitas memiliki dimensi transparansi dan responsibilitas.
Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah memenuhi kriteria akuntabilitas seperti halnya deklarasi Tokyo?
Penerapan akuntabilitas di Indonesia tak lepas dari TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara yang Bersih dan Bebas KKN yang diturunkan menjadi UU No. 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, di mana undang-undang tersebut mengakomodasi asas akuntabilitas, asas keterbukaan, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Sedangkan
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, juga mengatur tentang kewajiban instansi pemerintah untuk menyusun rencana kerja dan anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang akan dicapai.
Juga UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang antara lain mengatur informasi yang boleh dibuka untuk publik dan yang tidak boleh dibuka untuk publik, serta UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang antara lain mengatur hak-hak DPR untuk mengawasi eksekutif. (Danarto,31 Mei 2017).
Begitu banyak aturan berlapis untuk membendung laju korupsi, namun tingkat kebocoran anggaran tetap terjadi. Para pelaku tak jera dengan segala Undang-undang yang mengaturnya. OTT dan rompi oranye seolah publikasi gratis bak selebritas. Tidak ada rasa malu sama sekali telah melakukan tindak kejahatan dan dosa besar.
//Sistem Islam dalam Memberantas Korupsi//
Korupsi menurut syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah), sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. Maka, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad). Hadist dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Sanksi ta’zir adalah sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. ini dari sisi sanksi, bagaimana dengan tindakan preventif agar korupsi tak terjadi?
Sistem akuntabilitas dalam Islam simple. Dimulai dari sistem pemilihan pejabat daerah, aparatur negara dan majelis umat. Para pejabat daerah diangkat langsung oleh Amirul mukminin berdasarkan masukan dari anggota majelis umat.
Kapabilitas, kredibilitas dan tingkat kepercayaan dalam masyarakat yang akan dia pimpin menjadi pertimbangan. Maka dari itu kebanyakan adalah putra daerah. Demikian pula dengan aparatur negara dan majelis umat.
Kinerja dan sumber harta para pejabat akan dilakukan audit sebelum dan sesudah mereka menjabat. Masyarakat juga dilibatkan dalam sistem akuntabilitas. Para pejabat sering menyediakan waktu tertentu untuk mendengar keluhan, masukan dan kritikan dari rakyatnya. Akuntabilitas adalah kontrol atas para pejabat yang sedang menjalankan amanah mengurusi urusan umat dalam segala aspek kehidupan. Beginilah Islam dalam mengatur para pejabatnya. Dengan mekanisme kontrol dan sistem sanksi yang diberlakukan mampu meminimalisasi kebocoran dana dan menutup celah peluang terjadinya korupsi. Wallahu’alam bi Showab.
[Fz]