Oleh : NS. Rahayu
(Pemerhati Sosial)
#MuslimahTimes — Sosok Mak Nyak sudah tidak asing bagiku. Seorang janda dengan memiliki 4 orang putri. Sosoknya kecil, kulitnya hitam, rambutnya hitam legam karena semir, suaranya keras dan bicaranya tak tertata (ngablak). Keriput diwajahnya nampak bahwa usianya sudah waktunya untuk istirahat dari kerja berat.
Pada acara 40 hari keluarga, kami dipertemukan secara dekat dengannya kembali. Mak Nyak diminta memasak untuk kenduri (sedekahan) oleh kakak. Sore setelah semua siap saji, Mak Nyak ikut menunggui, itu waktu istirahatnya. Saya pandangi beliau agak lama, tersenyum sambil mengusap punggungnya.
“Mak, sekarang umurnya berapa?” tanya saya renyah, mengobati kerinduan padanya.
“Akeh mbak yuk, hampir 70 tahunan,” jawabnya.
Saya menyeringai perih, membayangkan usia saya yang jelita (jelang lima puluh tahun) sudah sering merasakan ketidak nyamanan fisik, gak kuat kerja berat full 1 hari. Sementara Mak Nyak? Selisih 20 tahun masih berkecimpung sebagai tukang masak yang gak ada berhentinya. Saya juga melihat lututnya ditopang deker, artinya fisiknya tak bisa berbohong atas kodrat alamiyahnya.
“Masih kuat Mak … kerja terus seperti ini? Kagum saya,” ujar saya memberikan simpati. Tapi sesaat beliau tercekat, diam menatap mata saya dengan ketakberdayaannya. Memberikan senyum pahit.
“Terpaksa, dik! Kebutuhan tak mengijinkan saya untuk sejenak beristirahat. Justru saya gak boleh berhenti bekerja untuk terus hidup, saya syukuri saja apa yang ada.” Deg! Nafas saya seperti terbang ke angkasa, melewati semua orang yang berada di sekeliling, terus berjalan menyusuri lorong waktu dengan hasrat secepatnya mengadukan semua ini kepada Penguasa Kehidupan, Allah SWT.
# # #
Betapa potret memilukan Mak Nyak tidak hanya terjadi satu kali ini saja. Masih banyak perempuan-perempuan lain keluar dari rumahnya demi menopang asap dapur keluarga. Meninggalkan fitrahnya sebagai pengatur rumah, jauh dari melayani suami dengan baik, apalagi mendidik anak-anaknya. Keluarga hanya mendapatkan waktu sisa, acap kali hanya sebuah perjumpaan, karena lelah mengantarkan keperaduannya.
Kondisi tersebut terpaksa mereka lalukan, karena jauh dilubuk hati terdalam, ada asa membuncah tentang kehidupan yang sejahtera dan terhormat dapat dinikmati. Tak perlu susah payah mengorbankan banyak hal, cukup dirumah mengatur nafkah suami, bercengkerama dengan anak-anak menunggu kepulangan suami tercinta. Namun semua itu jauh panggang dari api.
Bertahun-tahun berlalu, kondisi para perempuan di sistem salah ini bukannya semakin baik, namun semakin memilukan. Perempuan harus keluar rumah ntuk menopang kehidupan keluarga. Miriskan? Bahkan ketuk palu legalitas UU Omnibus Law makin memerosokkan hak-hak kodrati bagi seorang perempuan, karena menghilangkan hak cuti haid dan melahirkan, kebijakan yang tidak manusiawi. Hal ini hanya terjadi di sistem kapitalis.
Bertolak belakang dengan sistem Islam yang memuliakan dan menghormati perempuan. Kemuliaan ini disampaikan Rasulullah SAW ketika ditanya seorang sahabat, kepada siapa yang berhak mendapatkan kasih sayangnya. Maka Rasul menjawab : ibumu sebanyak 3 x, baru kemudian ayahmu. Hal ini menunjukkan peran dan posisi ibu sangat penting dan terhormat dalam Islam.
Peran ibu hanya dipahami oleh syariat Islam. Ibu adalah madrasatul ulla (pendidik pertama) bagi anak dimana memiliki fungsi strategis, sehingga tidak bisa dijalankan sambil lalu bahkan sekadarnya. Dengan membebani perempuan untuk mencari nafkah, jelas menganggu fungsi utamanya.
Namun realitas saat ini, sistem kapitalisme telah memaksa perempuan merangkap fungsi menjadi tulang punggung pencari nafkah bagi keluarga. Karena ketika suami tidak dapat memenuhi kecukupan nafkah, di sistem kapitalis, maka perempuan yang mengantikan posisinya mencari nafkah. Dan menjadi pemandangan biasa ibu-ibu harus memeras keringat hingga usia renta seperti Mak Nyak, untuk pemenuhan kebutuhan. Ironisnya mereka adalah masyarakat dari kalangan bawah.
Fenomena ini adalah hal lazim pada pemerintahan kapitalistik yang tidak menjalankan perintah Allah SWT. Karena kapital menjadi asas penopangnya, sehingga segala sesuatu diperhitungkan berdasarkan manfaatnya. Padahal peran pemerintahan harus menjalankan fungsi riayatus (pengatur) urusan umat dan menjamin semua kebutuhan rakyat.
Hal tersebut bertolak belakang dengan penerapan sistem Islam. Kondisi itu tak mungkin terjadi. Hukum syariat Islam menempatkan bahwa perempuan tidak wajib memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pemenuhan kebutuhan hidupnya ada pada walinya, seperti suami, ayah, atau wali dari jalur ayah yang mampu.
Ketika tidak ada keluarga yang menopang kehidupan perempuan, maka pemerintah yang mengambil tanggung jawab memberikan santunan sandang dan pangan bagi keluarganya. Tidak perlu memikirkan kebutuhan lainnya, karena pendidikan, kesehatan dan fasilitas publik lainnya telah dipenuhi negara secara gratis untuk seluruh rakyat.
Semua pemenuhan kebutuhan hidup itu diurusi oleh pemerintahan dan dijalankan oleh supra sistem yang terpadu. Semua sistem berperan aktif menopang berjalannya fungsi kepengurusan itu, seperti sistem ekonomi, pendidikan, sosial, politik dan lainnya.
Perempuan dalam Islam tidak wajib bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga, meski hukum bekerja bagi perempuan dalam Islam itu boleh. Hal ini tidak akan menghilangkan fungsi utamanya sebagai pendidik anak yang akan menjadi generasi peradaban emas. Ibu bisa menjalankan peran strategisnya karena keagungan peradaban yang termulia, dimulai dari ibu. Dan akan kembali terwujud perempuan mulia dalam Islam yang melalui asuh dan asah para ibu, Islam kembali pada peradaban emasnya.
Menjadi kewajaran saat ini, banyak ibu-ibu merindukan kembalinya sistem Islam di bawah naungan khilafah. Berharap di tahun 2020 adalah tahun terakhir tanpa khilafah dan tahun 2021 syariat Islam kembali tegak mengayomi kehidupan. Wallahu’alam bishowab