Oleh :Cita Asih Lestari S.Pi
MuslimahTimes.com – Pada bulan November 2020, viral di jagat maya foto pejabat ibu kota yang berpose membaca buku How Democracies Die (HDD). Buku besutan ilmuan politik dari Harvard University, Steven Levitskydan Daniel Ziblat, telah luas diperbincangkan berbagai kalangan di media sosial. Foto tersebut banyak ditafsirkan dengan berbagai macam sudut pandang bahkan para pejabat pemerintahan pun ikut berkomentar. Buku HDD ini terbit tahun 2018 dan menjadi viral jusru di tahun 2020 karena foto tersebut. Bahkan ada yang berkomentar, foto itulah yang menjadikan buku ini Best Seller sekaligus mengguncang jagat maya dan istana.
Terlarut dalam viralnya, antara menyesali akan kematian demokrasi sekaligus menyambut harapan akan sistem penggantinya, warganet tak kalah antusias berfoto dengan pose membaca buku yang sama.
Menghitung Umur Demokrasi
Menurut Encyclopaedia Britannica, demokrasi secara harafiah adalah dikuasai oleh rakyat. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia yang berarti pemerintahan rakyat. Dari kata demos yang artinya manusia dan kratos yang artinya pemerintahan. Pada pertengahan abad 5 SM, istilah demokrasi untuk menunjukkan sistem politik yang ada di beberapa negara-kota Yunani, terutama di Athena. Dikutip dari Kiddle.co, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Istilah ini digunakan untuk berbagai bentuk pemerintahan di mana orang dapat mengambil bagian dalam keputusan yang memengaruhi cara komunitasnya dijalankan.
Akan tetapi bentuk pemerintahan demokrasi atau republik atau kerakyatan menjadi trend dunia pasca sekularisme politik di Eropa selepas Perjanjian Westphalia 1648. Kekuasaan politik benar-benar dilepaskan dari kekuasaan agama agar dapat benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas rasionalitas manusia. Perjanjian Westphalia dianggap sebagai titik lahirnya negara-negara nasional yang modern. Melalui Perjanjian Westphalia hubungan negara dilepaskan dari hubungan kegerejaan (keagamaan).
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai dan hakikat pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Disinilah sekularisme lahir dan Demokrasi sebagai system pemerintahan yang dinilai tepat untuk mengakomodir keinginan masyarakat saat itu.
Merujuk pada kelahirannya, demokrasi tak bisa dilepaskan dari ideologi kapitalisme. Demokrasi melegitimasi definisi dirinya sebagai pandangan di mana manusia berhak membuat peraturan (undang-undang). Menurutnya, rakyat adalah sumber kekuasaan, maka rakyat pula yang membuat undang-undang.
Dalam buku ini berisi paradoks demokrasi. Dikatakan, pembunuh demokrasi bukanlah para tiran diktator, melainkan pembunuhnya adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri. Dan menurut para pengamat politik, semua indikatornya telah ada pada rezim sekarang.
Kematian Demokrasi
Steven dan Daniel memberikan semacam litmus test yang bisa dipakai untuk mengetahui apakah pemimpin bangsa ini membunuh demokrasi atau tidak. Karena dalam bukunya dijelaskan Donal Trump telah memenuhi setiap kriteria pada litmus test. Bagaimana dengan Rezim di Indonesia?
Empat Indikator tersebut diistilahkan dengan Four Key Indicators of Authoritarian Behavior.
Pertama, pelemahan/penolakan terhadap norma-norma demokrasi. Parameternya antara lain: Apakah mereka mengubah-ubah UU? Apakah mereka melarang organisasi tertentu? Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara?
Jawabannya, iya. Rezim hari ini mengubah-ubah UU, seperti UU KPK, UU Minerba, dll. Termasuk mencabut BHP Ormas HTI dan membatasi hak politik warga dengan persekusi, penurunan baliho HRS, penangkapan aktivis KAMI, dll.
Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi. Parameternya: Apakah mereka menyematkan lawan politik dengan sebutan subversif, seperti mengancam asas dan ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan politik dengan tuduhan yang mengada-ada?
Jawabannya, iya. Rezim hari ini meneriaki lawan politiknya dengan anti-Pancasila, anti-NKRI, rezim pun tak segan mengkriminalisasi ulama dan menjerat para kritikus dengan pasal karet UU ITE.
Ketiga, toleransi atau mendorong aksi kekerasan. Parameternya: Apakah mereka memiliki hubungan dengan organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri?
Jawabannya, iya. Ada ormas kepemudaan berseragam tentara yang getol mempersekusi, membubarkan pengajian, serta bertindak seperti polisi, jaksa, dan hakim sekaligus. Penguasa seolah mengamini dengan mengapresiasi perbuatan mereka.
Keempat, kesiagaan untuk membungkam sipil. Parameternya: Apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat? Apakah mereka melarang tema-tema tertentu?
Jawabannya, iya, Rezim hari ini melarang pembahasan dan penyebaran Khilafah yang merupakan ajaran Islam. Juga menelurkan UU Ormas dan RUU HIP dan pembubaran FPI.
Oleh sebab itu, jika merujuk pada empat indikator di atas, demokrasi di Indonesia telah mati, dibunuh penguasanya sendiri. Artinya, sahlah penguasa hari ini adalah rezim represif dan otoriter.
Lalu, apa dampaknya bagi masyarakat? Dalam buku tersebut dijelaskan, akan terjadi polarisasi yang begitu tajam antara pendukung pemerintah dan oposisi di tengah umat. Kondisi ini bisa menghantarkan pada perang sipil (civil war).
Sebab Gagalnya Demokrasi
Pertama, Asas Sekularisme
Bentuk pemerintahan demokrasi atau republik menjadi tren pascasekularisasi politik di Eropa. Kekuasaan politik dilepaskan sepenuhnya dari kekuasaan agama. Oleh karena itu, ide sekularisme atau pemisahan negara dan agama adalah fondasi dasar dari demokrasi.
Itulah mengapa demokrasi tertolak dalam Islam. Karena akan mengancam akidah dan menjauhkan kaum muslim dari aturan-aturan Islam. Dikatakan mengancam akidah, karena demokrasi telah merampas hak Allah SWT untuk membuat hukum dan menyerahkan hak itu kepada hawa nafsu manusia.
Demokrasi pun bisa membuat kaum muslim menjadi kufur terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena sekularisme pun melahirkan pluralisme, yaitu suatu paham yang menyamakan semua agama. Akhirnya, menjadi murtad bukan suatu hal yang besar, karena dijamin kebebasannya oleh pemerintah.
Kekuasaan dan kedaulatan yang bersumber dari akal manusia semata, menjadikan aturan yang lahir sesuai kepentingan penguasa. Penguasa yang sesungguhnya dalam sistem ini adalah korporasi.
Adapun oligarki, akan sangat niscaya terbentuk untuk melindungi korporasi dan para pemburu harta dan kuasa. Inilah yang menyebabkan keadilan akan semakin menjauhi umat. Lembaga peradilan tak ubahnya seperti penjaga karcis. Siapa yang membayar besar dan memiliki koneksi, dia akan diperlakukan seperti VIP.
Kedua, Demokrasi Butuh Kapitalisme
Demokrasi butuh bantuan kapitalisme, begitu pun sebaliknya. Ketika partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana besar, dari mulai dana kampanye hingga money politik. Para politisi membutuhkan dana dari para pelaku bisnis. Gayung bersambut, pengusaha pun butuh penguasa untuk mengamankan regulasi yang sesuai dengan pesanan mereka.
Maka dalam demokrasi, kiprah dan kolaborasi penguasa dan pengusaha menjadi pilar penting dalam berjalannya demokrasi. Dari sini, jadilah elite politik mudah didikte untuk kepentingan pengusaha. Lihatlah Omnibus Law Cipta Kerja atau UU Minerba yang baru-baru ini disahkan, semua aturannya bermuara pada kepentingan korporasi.
John Perkins dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man, menyebut fenomena kolaborasi birokrasi dan korporasi dengan sebutan korporatokrasi. Misalnya, dalam AS sendiri, demokrasi menjadi penopang kekuasaan perusahaan-perusahaan AS untuk menghisap kekayaan negara-negara kelas ketiga, seperti Indonesia.
Kolaborasi korporasi dan birokrat bukan hanya terjadi di AS dan Indonesia, tapi terjadi di seluruh negara yang menerapkan sistem ini. inilah yang dinamakan pola/sistem yang dipaksakan hadir di seluruh dunia, untuk menyelesaikan permasalahan dunia. Namun nyatanya, justru menjadi biang permasalahan itu sendiri.
Kesejahteraan tak pernah sampai pada masyarakat papa. Sistem ekonomi kapitalisme telah menjadi jalan terhadap eksploitasi SDA oleh korporasi. Akhirnya, seluruh hasil SDA dinikmati oleh korporasi yg jumlahnya sangat sedikit. Rakyat jelata yang jumlahnya dominan, terpaksa berebut remah-remah sisa makan mereka.
Islam sebagi Ideologi adalah Solusi
Dunia Islam sebagai penghuni bumi dengan jumlah terbesar ini sepatutnya meraba diri. Ideologi apa yang tengah mereka jalani? Apakah ideologi tersebut sesuai fitrah kemanusiaannya atau tidak? Mengingat beragam ketimpangan dan abnormalitas kehidupan ibarat badai yang siap melanda setiap saat.
Faktanya, belum ada satu pun negara di dunia yang mengambil Islam sebagai ideologi, kendati mereka negeri-negeri muslim, khususnya pascakeruntuhan Khilafah Turki Utsmani (Ottoman) pada 1924.
Sejatinya, setiap diri manusia menurut fitrahnya selalu cenderung pada agama. Kendati manusia saat ini hidup dalam naungan ideologi yang bertentangan dengan fitrahnya, tetap saja dirinya pasti akan mencari jalan kembali pada fitrahnya tersebut.
Ini naluriah. Manusia akan selalu mencari sesuatu yang jauh lebih sempurna (Mahasempurna) dibandingkan dirinya untuk selalu diagungkan.
Sehingga jelas, ideologi kapitalisme dan sosialisme-komunisme bertentangan dengan fitrah manusia ini, di mana terletak kecenderungan untuk senantiasa terikat dengan aturan Sang Mahasempurna, Allah SWT.
Agama/keyakinan pada Sang Pencipta bagi kehidupan manusia berperan penting mengatasi problematik hidup manusia, dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Inilah Islam. Islam sesuai dengan fitrah manusia, maka Islam pasti mudah diterima manusia. Ketika manusia tidak menjadikan Islam sebagai ideologi, mereka akan keliru menerapkan Islam di tengah-tengah sekumpulan manusia lainnya. Oleh sebab itu, wajib menjadikan Islam sebagai ideologi dalam kehidupan.
Khilafah Dinanti
Sebagai agama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Saw. dan berlaku hingga akhir zaman, Islam pasti dapat diterapkan kapan pun dan di mana pun. Keberadaan umat Islam di seluruh penjuru dunia membuktikan Islam adalah ajaran yang disebarkan melalui aktivitas dakwah yang tersebar luas.
Karena itu, sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh jika kaum muslimin di seluruh dunia menghendaki adanya negara pelaksana ideologi Islam yang akan menaungi kehidupan mereka.
Tegaknya negara berideologi Islam tentu saja sebagai bentuk aktualisasi fitrah kemanusiaan mereka selaku makhluk Allah SWT untuk hidup dalam negara yang diatur syariat-Nya.
Jadi, tegaknya sistem Khilafah sebagai negara berideologi Islam adalah suatu kebutuhan mendesak di saat umat Islam dan manusia seluruhnya terlalu lama hidup dengan aturan yang bertentangan dengan fitrah mereka.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Negara Khilafah berperan untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Khilafah adalah penjamin penerapan ideologi Islam secara sempurna dan menyeluruh, suatu kewajiban yang akan menopang tegaknya kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan hukum syariat.
Hukum-hukum tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan, antara lain aspek sosial, ekonomi, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, militer, politik dalam dan luar negeri, pemerintahan, dan sebagainya.
Jelas sekali, pelaksanaan seluruh ide-ide Islam bergantung pada keberadaan Khilafah, karena hanya Khilafah metode untuk merealisasikan eksistensi Islam.
Keberhasilan penerapan ideologi Islam ini tercatat dalam sejarah, umat Islam pernah menjadi umat yang terkemuka di dunia dalam berbagai bidang (peradaban, tsaqafah, dan ilmu pengetahuan).
Negara Khilafah Islamiyah telah menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia selama kurang lebih 13 abad, menjadi kebanggaan dunia layaknya matahari yang sinarnya menerangi dunia selama negara tersebut ada.
Khatimah
Demikianlah, hendaknya kaum muslimin mengambil Islam seutuhnya sebagai ideologi. Ideologi Islamlah variabel yang tepat menuju tegaknya Negara Khilafah Islamiyah.
Islam akan berlaku sebagai akidah yang di atasnya dibangun pandangan tentang kehidupan. Islam juga akan mengatur kehidupan yang bersumber dari akidah Islam.
Manusia dipastikan tidak menjadi sumber hukum dan undang-undang. Legalitas hukum semata-mata terletak di tangan syariat, bukan yang lain. Pun standardisasi kebahagiaan dalam kehidupan, semua dikembalikan pada rida Allah SWT, yakni dengan senantiasa terikat pada aturan-Nya.
Jalan kebangkitan kaum muslimin hanya satu, semata-mata melalui berlanjutnya kehidupan Islam. Itulah jalan menjemput janji Allah dan bisyarah Rasul-Nya.
Firman Allah SWT, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nuur [24]: 55).
Rasulullah Saw. bersabda, ” … Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Bazzar).