Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes.com – World Giving Index 2019, sebuah penghargaan dari lembaga amal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF), menyebutkan Indonesia masuk dalam salah satu negara yang paling dermawan. Hal ini disampaikan Kepala Divisi Dana Sosial Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Urip Budiarto.
Hal itu ditunjukkan dengan tingginya potensi wakaf, termasuk wakaf uang. Menyitir data Badan Wakaf Indonesia atau BWI, Urip menyebut bahwa potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp180 triliun pertahun. Sementara itu berdasarkan nilai valuasi tanah wakaf secara keseluruhan, potensinya telah mencapai Rp2.000 triliun.
“Jadi ini adalah penggambaran betapa dermawannya masyarakat Indonesia yang secara kultural telah memiliki jiwa berbagi, memberikan hartanya untuk kemaslahatan umat,” ujar Urip dalam diskusi virtual bersama CORE Indonesia, Selasa, 9 Februari 2021 (Tempo.com, 9/2/2021).
CAF melakukan survey ini selama 10 tahun, dari tahun 2009-2018 di 128 negara, dengan responden sekitar 1.3 juta orang. Hasil survey dirilis dalam sebuah laporan World Giving Index. Amerika adalah negara nomor satu paling dermawan. Beberapa indikator yang kemudian menjadi penilaian dalam survey adalah menyumbangkan uang untuk amal, bekerja secara sukarela dalam suatu organisasi dan membantu orang yang tidak dikenal yang membutuhkan bantuan.
Meskipun Urip merasa masih banyak yang harus diperbaiki dari penerapan wakaf, baik dari sisi regulasi maupun kesadaran masyarakat. Namun, terasa aneh sebab kedermawanan masyarakat Indonesia dihubungkan pada wakaf. Terlebih faktanya negara yang berinisiatif menjadikan wakaf sebagai salah satu instrumen pendapatan negara.
Sebagaimana yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang, di Istana Negara, “Wakaf juga merupakan upaya memperkuat rasa kepedulian dan solidaritas sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial di negara kita,” (Republika.com, 25/1/2021).
Wakaf dalam Islam adalah amal individu dan tidak ada kaitannya dengan negara. Apalagi kemudian negara menjadikannya sebagai salah satu pendapatan negara di luar APBN namun sama-sama berfungsi untuk pembiayaan operasional negara. Jelas ini bentuk pengabaian tugas dan kewajiban negara yang sebenarnya.
Mekanisme pembiayaan negara dalam Islam berpusat pada Baitul mal yang berbeda samasekali dengan APBN, baik dari sisi pos pemasukan maupun pos pengeluaran. Pos pemasukan terdiri dari pos kharaz, fa’i, kepemilikan umum dan zakat.Pengelolaan sumber daya alam masuk dalam pos kepemilikan umum. Ini secara praktik benar-benar negara yang mengelola, BUMN tidak boleh diprivatisasi, demikian pula dengan SDA.
Hal inilah yang hari ini tak dimiliki oleh negara, sebab kapitalisasi telah menjadi sistem yang menguasai kewenangan negara. Sejak dari penggodokan UU hingga diresmikan presiden, UU itulah yang menjadi benteng bagi negara, sehingga tak mampu mandiri dan mengelola sendiri. Padahal ada kewajiban untuk menanggung nasib rakyat.
Akhirnya utang LN dan pajaklah yang menjadi tumpuan. Padahal itulah tipuan kapitalis Barat dalam menjebak Indonesia juga negeri- negeri Muslim di dunia agar tak lagi berpikir mengelola SDAnya sendiri selamanya.
Kapitalisme bertahan hidup karena hegemoni dan eksploitasi terhadap negeri-negeri jajahannya. Hal ini tak bisa ditutupi. Itulah mengapa, ada sederet penghargaan bagi Indonesia, khususnya. Masih lekat bagaimana Menteri Keuangan kita Sri Mulyani mendapat gelar Menteri Keuangan terbaik di dunia dan Juli 2020 Indonesia mendapat peningkatan status The Middle Up Country. Semua karena Menkeu rajin memperbaharui proposal utang LN sebagaimana yang didiktekan IMF atau World Bank.
Sejak itulah, kita tak pernah bebas sepenuhnya. Selalu ada hal-hal yang ditentukan oleh Barat terkait kebijakan pemerintah. Wakaf ini pun terkesan dipaksa, karena tak cocok dengan APBN kita maka kemudian pemerintah bekerja sama dengan lembaga lain yang kemudian memproses wakaf menjadi sukuk bunga, yang kemudian bisa dialihkan menjadi pendapatan negara.
Artinya, sama saja kedermawanan ala kapitalis ini tak akan bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Kesejahteraan hanya kamuflase selama kapitalisme masih menjadi ruh pengelolaan wakaf. Wakaf adalah sesuatu dan penjaminan kesejahteraan rakyat oleh negara adalah sesuatu yang berbeda. Islam mensyariatkan wakaf bagi individu dan hal itu tumbuh subur ketika negara telah sukses menjamin kesejahteraan rakyatnya secara totalitas.
Sungguh tak bijak jika menganggap rakyat dermawan dengan kesediaan mereka untuk berwakaf pada negara. Sebab hari ini rakyat yang terdampak pandemi jauh lebih banyak dan membutuhkan kehadiran negara real, tak sekadar berganti kebijakan atau resuffle kabinetnya. Dan jika pemerintah meminta kritik dan masukan dari rakyat, maka jawabannya adalah terapkan sistem yang terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, sistem yang berasal dari Allah Swt. Wallahu a’ lam bish showab.