Breaking News

Daycare, Solusi Dilematis Ibu Bekerja

Spread the love

Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)

Muslimahtimes.com–Polisi menangkap MI, owner daycare di Depok, Rabu (31/7/24). Ia diduga menganiaya dua balita berusia 9 bulan dan 2 tahun. Influencer ini pun diancam hukuman kurungan maksimal lima tahun (Detik). Berselang beberapa hari kemudian, polisi menangkap WF di Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (9/8/24). Diduga ia menganiaya F, salah satu anak di tempat penitipan balita itu (Beritasatu).

Ketika berita ini muncul, komentar warganet yang mayoritas ibu-ibu, tampak kurang bersimpati pada korban. Bahkan cenderung memojokkan. Misalnya dengan kalimat, “Anak itu titipan Allah, malah dititipin ke orang”, “kalau belum siap jadi orang tua, jangan punya anak” dan “perhiasan berharga aja kita jaga, ini anak yang tak ternilai malah gak dititipkan.”

Ironis memang. Orang tua si anak yang notabene korban, malah mereka yang dihakimi. Kita tidak tahu persis, apa alasan ibu itu bekerja dan menitipkan anak. Memang, ada juga yang menghakimi pelaku dan itu wajar. Sebab, penganiayaan terhadap anak adalah kejahatan yang menimbulkan kemarahan semua pihak. Apalagi, pelakunya juga seorang perempuan yang notabene seorang ibu. Lantas mengapa ia tega menganiaya anak yang tak berdaya?

Alasan Daycare Ada

Menurut literatur, daycare pertama didirikan di Perancis pada 1840. Dipicu meningkatnya pekerja perempuan pabrik pada pertengahan abad 19. Saat itu, banyak anak balita meninggal dunia terlalu dini. Mereka terlantar lantaran kurang perawatan dari orang tuanya yang miskin. Sang ayah tak cukup gajinya, hingga terpaksa para ibu ikut bekerja. Muncullah inisiatif dari para perawat untuk membuka penitipan anak. Demikian tulis Dorena Caroli dalam Day Nurseries & Childcare in Europe 1800-1930, seperti dikutip Historia.id.

Saat ini, daycare menjadi solusi alternatif saat ibu beraktivitas di ruang publik yang mengharuskannya tanpa anak. Baik untuk bekerja, kuliah, berpolitik maupun aktivitas lainnya. Daycare yang menerima anak usia dini (0-6 th) ini, muncul di masyarakat urban yang hanya memiliki struktur keluarga inti.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan, pada 2023, tempat penitipan anak berjumlah 197 ribu. Ini seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja. Bukan hanya membantu ekonomi keluarga, bahkan menjadi tulang punggung utama.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, ada 12,73% kepala rumah tangga perempuan pada 2023. Angka itu naik tipis 0,01% poin dibandingkan tahun 2022 sebesar 12,72%. Persentase kepala rumah tangga perempuan trennya meningkat pada 2013-2020 (dataindonesia.id). Tampaknya hal ini sebanding dengan tingginya angka perceraian, sehingga para ibu tunggal ini harus menjadi kepala keluarga (dataindonesia.id)

Inilah alasan daycare itu ada, yaitu karena banyaknya ibu yang bekerja. Pertanyaannya, mengapa ibu rumah tangga bekerja? Bukankah ada suami yang mencukupi nafkahnya? Lantas, apakah daycare benar-benar bisa menjadi solusi bagi ibu bekerja?

Di Balik Ibu Bekerja

Dewasa ini, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan terus naik. Pada 2022 mencapai 58,84 dan naik menjadi 60,18 persen pada 2023. Artinya, jika ada sepuluh perempuan, kemungkinan besar 6 orang di antaranya adalah ibu pekerja. Banyaknya ibu bekerja ini, adalah bagian dari proyek PBB yang menghendaki kesetaraan dan keadilan gender. Ada arus besar untuk mengeluarkan perempuan dari rumah, berkarier dan menjadi roda-roda penggerak ekonomi kapitalis.

Digaungkanlah berbagai opini yang menyebabkan persepsi masyarakat rusak dalam memandang kedudukan perempuan dan laki-laki. Misalnya, anggapan bahwa orang yang tidak kerja, seperti ibu rumah tangga, dianggap tidak produktif. Perempuan itu harus mandiri ekonomi dan jangan bergantung pada suami. Mereka memperjuangkan, agar perempuan rame-rame bekerja.

Akibatnya, justru merusak tatanan sosial. Lapangan kerja bagi laki-laki terdesak oleh masuknya perempuan ke dunia kerja. Sementara itu, laki-laki yang bekerja, mendapat gaji rendah, hingga tak mampu menyejahterakan istri dan anak. Terpaksalah perempuan ikut mengais rezeki. Untuk itu, perlu tempat penitipan anak.

Saat anak dititipkan, harapannya, orang tua dapat bekerja lebih produktif. Di daycare, anak diasuh tenaga profesional. Mereka bisa belajar bersosialisasi sejak dini. Dirangsang kecerdasannya, juga motorik halus dan kasarnya. Anak belajar disiplin, mengingat jam pengasuhan yang sudah terjadwal rapi. Meski begitu, naluri keibuan tak bisa diabaikan.

Para ibu bekerja ini sesungguhnya was-was. Asuhan tenaga profesional tidak menjamin baik. Peralatan di daycare dipakai bergantian, belum tentu terjaga kebersihannya. Apalagi jika ada anak yang sakit, maka akan rentan tertular. Belum lagi ancaman kekerasan atau penganiayaan, seperti yang sudah terjadi.

Daycare hanyalah solusi alternatif bagi ibu bekerja. Solusi yang juga dilematis, karena mengabaikan naluri keibuan para ibu. Bagaimana tidak sedih, jika bayi yang harusnya didekapnya, terpaksa ditinggalkan di penitipan.

Jadi, jangan bangga dengan banyaknya daycare, justru ini merupakan potret kegagalan dalam menjamin hak ibu dan anak agar tetap di rumahnya yang aman, nyaman dan tercukupi kebutuhannya. Maka, yang harus diatasi justru bagaimana caranya agar para ibu tidak bekerja, terlebih ketika masih memiliki balita.

Hilangnya Fitrah Keibuan

Mengasuh dan mendidik anak di bawah usia 6 tahun, membutuhkan effort yang luar biasa. Selain kekuatan fisik yang prima, juga kesabaran ekstra. Menangani anak yang hampir 100 persen hidupnya bergantung pada orang dewasa ini, butuh banyak skill. Seperti manajemen emosi, menumbuhkan kasih sayang, lemah lembut, menenangkan, menentramkan dan memberikan rasa nyaman. Sifat itu terletak di naluri seorang ibu.

Daycare, yang digagas untuk menggantikan peran ibu bekerja dalam mengasuh dan mendidik anak, memiliki standar khusus. Pengasuhnya harus punya skill sebagai perawat anak yang baik. Sabar dan penuh kasih sayang. Penyayang anak dan memiliki naluri keibuan. Masalahnya, naluri ini rusak akibat sistem hidup sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini.

Jangankan pengasuh di daycare yang merawat bukan anak kandungnya, ibu kandung saja tak sedikit yang tega menganiaya buah hatinya. Apa pemicunya? Tekanan hidup yang berat. Ibu-ibu saat ini terbebani banyak masalah. Tak bisa fokus mengasuh dan mendidik anak saja, juga ikut memikirkan ekonomi rumah tangga. Cemas akan masa depan diri dan anak-anaknya.

Para ibu hidup dalam ketidak-pastian karena tidak adanya jaminan hidup yang meyakinkan. Inilah pemicu stres sosial di mana-mana, yang memicu tidak terkendalinya emosi. Akibatnya, anak-anak yang tidak berdaya menjadi korban. Sudah banyak anak yang dibunuh ibu kandungnya atau diajak bunuh diri bersama. Semua karena stres hidup di alam kapitalis yang materialistis.

Peradaban yang Adil

Fenomena ibu bekerja untuk menopang ekonomi, adalah problem di sistem sekuler kapitalis. Hal ini terjadi karena kegagalan sistem sekuler kapitalis dalam mewujudkan kesejahteraan kaum ibu khususnya dan keluarga pada umumnya.

Meskipun bekerja tidak dilarang dalam Islam, namun peradaban Islam mendudukkan peran utama perempuan adalah di rumah. Mengasuh, mendidik anak dan melahirkan generasi terbaik. Idealnya, ibu bekerja untuk berkarya dan bermanfaat bagi umat dan negara. Bukan untuk menolong kemiskinan dirinya.

Allah Swt berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS An-Nisa’: 124). Syekh Mutawalli As-Syar’awi menafsirkan alam saleh di sini adalah: “Segala sesuatu yang menolong pergerakan kehidupan adalah amal saleh.” (Mutawalli As-Syar’awi, XIII/1837).

Realita sejarah peradaban Islam yang mengisahkan kiprah para muslimah di berbagai lapangan kehidupan. Baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan maupun di medan jihad. Mereka bukan bekerja untuk menafkahi dirinya, melainkan memanfaatkan ilmu dan keahliannya untuk umat. Sementara itu, keluarga dan lingkungan memberikan dukungan dengan suasana keimanan yang kental. Negara juga mendukung dengan menjamin kebutuhan pokok mereka.

Inilah negara yang menggunakan ideologi Islam sebagai asasnya. Bukan sekuler kapitalis yang hanya menyengsarakan kaum ibu. Baik ibu bekerja maupun ibu rumah tangga, sama sengsaranya. Jadi, jika tidak ingin kejadian seperti di daycare terulang, ganti sistem hingga sesuai dengan fitrah manusia.(*)