Breaking News

Fatamorgana Kemerdekaan di Bawah Cengkeraman Kapitalisme Sekularisme

Spread the love

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Muslimah dan Penulis Buku)

Muslimahtimes.com–Agustus menjadi bulan bertabur merah putih. Berbagai seremonial pun digelar, mulai dari upacara bendera di berbagai instansi, hingga aneka perlombaan dari tingkat kecamatan hingga tingkat RT. Ya, karena setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun, benarkah Indonesia telah meraih kemerdekaan yang hakiki?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka memiliki tiga makna. Pertama, bebas dari belenggu ataupun penjajahan. Makna kedua adalah tidak terkena, atau lepas dari berbagai tuntutan. Dan makna ketiga dari merdeka ialah tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu, dan leluasa.

Jika menilik pada ketiga makna tersebut sudah jelas bahwa negeri ini belum sepenuhnya merdeka karena masih berada di dalam cengkeraman sistem kapitalisme-sekularisme.

Bagaimana mungkin dikatakan merdeka jika negeri ini masih terbelenggu oleh pemikiran liberal ala Barat seperti hedonisme, permisivisme alias serba boleh, feminisme, dan isme-isme lainnya yang tidak sesuai ajaran Islam.

Bagaimana mungkin disebut merdeka jika kekayaan alam negeri ini dikuasai asing? Sementara rakyatnya berkubang dalam kemiskinan tiada akhir. Berbagai subsidi untuk rakyat dikurangi, bantuan sosial disunat sana-sini, tapi di sisi lain rakyat dijerat dengan berbagai pungutan yang dipaksakan, mulai dari pajak, Tapera hingga asuransi kendaraan yang sudah diwacanakan akan diwajibkan ke depannya.

Bagaimana mungkin disebut merdeka jika perekonomian negeri ini disetir oleh para kapitalis raksasa, kedaulatan negara pun hilang dan nyaris tak ada. Negara hanya berperan sebagai regulator bukan provider. Apa ini yang disebut negara merdeka?

Bagaimana mungkin disebut merdeka jika suara kritis rakyat dibungkam? Wacana Khilafah dibumihanguskan lewat narasi yang menakuti umat, yakni radikalisme, ekstremisme, hingga terorisme. Inikah negara yang disebut merdeka saat kebebasan berpendapat saja hanya milik mereka yang sejalan dengan rezim yang ada?

Bagaimana mungkin disebut merdeka jika negeri ini terjerat utang luar negeri yang jumlahnya terus merangkak naik? Berbagai kebijakan negara pun ditunggangi. Penguasa berselingkuh dengan pengusaha. Inilah oligarki. Rakyat kembali menjadi tumbalnya. Inikah yang disebut merdeka?

Bagaimana mungkin disebut merdeka jika jutaan rakyat negeri ini terjerat dalam pengangguran sementara tenaga kerja asing diberi karpet merah? Bagaimana mungkin dikatakan merdeka jika tingkat stress, depresi, bahkan bunuh diri kian meningkat? Inilah realita keterpurukan negeri yang tak bisa dimungkiri.

Jadi, tak perlu bangga teriak merdeka, karena nyatanya kita belum merdeka. Jika merdeka sebatas diartikan sebagai terbebas dari penjajahan fisik dan militer, itu benar adanya. Tetapi suka tak suka,  merdeka tak bisa diartikan sesempit itu. Dalam realitanya, kita masih terjajah!

Belenggu kapitalisme liberal yang menyandera kemerdekaan negeri ini harus dihancurkan dengan meningkatkan taraf berpikir umat dan membuka mindset tentang tujuan dan arah kehidupan yang hakiki. Umat harus sadar bahwa negeri ini akan menjadi baldatun toyyibatun wa robbun ghofuur manakala menghamba secara totalitas pada Dzat yang Menciptakan Semesta, Allah Swt.

Ketundukan totalitas kepada syariat-Nya merupakan konsekuensi dari sebuah keimanan. Bukankah hanya dengan menerapkan syariat-Nya secara kaffah negeri ini akan diberkahi? Allah Swt berfirman:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS.Al-A’raf:96)

Dengan demikian, mari kita perjuangkan kemerdekaan hakiki bagi negeri ini dan negeri-negeri muslim lainnya yakni dengan melepaskan belenggu kapitalisme sekularisme dari setiap sendi-sendi kehidupan. Yakinlah bahwa hanya dengan diterapkannya syariat Islam secara kaffah sajalah, rahmat bagi semesta alam akan terwujud nyata, bukan sekadar fatamorgana. Wallahu’alam bis shawab.