Oleh: Shafayasmin Salsabila*
MuslimahTimes– Samara, kepanjangan dari sakinah, mawaddah wa rahmah. Kebanyakan undangan pernikahan memuat tiga kata sakti ini di dalamnya. Selain menjadi harapan dalam doa, samara merupakan cita keluarga Muslim bahagia. Samara berasal dari istilah bahasa Arab, seperti yang termaktub dalam QS. Ar-Rum ayat 21, “di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.”
Keluarga samara artinya sebuah keluarga yang diliputi ketentraman, cinta dan kasih sayang. Tentunya setelah berpijak pada syariat Islam. Yakni saat setiap anggota keluarga berpegang teguh dengan aturan Allah. Baik suami dan istri, keduanya melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Dalam pengasuhan anak pun, senantiasa menjadikan kepribadian Islam sebagai target pencapaiannya.
Namun sayangnya, idealisme keluarga samara mulai terkoyak bersama masifnya arus liberalisasi serta perang pemikiran (ghazwul fikri). Bangunan keluarga retak, akibat dijauhkan dari pemahaman Islam. Kerusakan demi kerusakan kian menghancurkan setiap apa yang tersisa dari puing-puingnya. Atas kondisi mengenaskan seperti ini, agenda tahunan Harganas (hari keluarga nasional) digelar pemerintah, dengan harapan mampu merevitalisasi bangunan keluarga. Benarkah peringatan ini membawa angin segar bagi keluarga Muslim atau malah mengundang badai yang akan memperparah keadaan?
/Di Balik Harganas/
Tak lama lagi, yakni panggal 29 Juni, bangsa Indonesia akan kembali memperingati Harganas yang ke-26 kali. Harganas sendiri, diselenggarakan pertama kali tahun 1993
Pada tahun ini, Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan, dipilih sebagai tempat puncak peringatan Harganas XXVI. Dengan mengusung tema “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”. Adapun tujuan dari peringatan Harganas adalah meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dalam kerangka ketahanan keluarga. (FAJAR.CO.ID, 5/2/2019)
Tanpa menafikan tujuan awal Harganas, serangkaian serangan pemikiran dan budaya liberal sudah mengambil ancang-ancang. Momen Harganas, dijadikan gong bagi isu ledakan penduduk serta program pembatasan anak. Begitupun konsep berbahaya dari feminis, yang meyakini bahwa sebagian besar masalah rumahtangga berawal dari diskriminasi gender. Dapur, sumur, kasur masih dijadikan bidikan empuk untuk menggiring para wanita dalam keluarga, keluar rumah untuk turut bersaing dalam hal financial. Semakin banyak menghasilkan uang, wanita akan semakim dipandang. Perkara pengasuhan anak, dijadikan opsi kedua, atau bahkan dipindahtangankan kepada pihak kedua, baik babysitter atau keluarga dekat.
Pantaslah jika kewaspadaan tertuntut untuk diaktifkan, sebab alih-alih menyelamatkan keluarga, pemikiran Barat serta budaya liberal yang disusupkan melalui Harganas, akan menambah kisruh masalah yang sudah ada.
/Keluarga dalam Bidikan/
Musuh-musuh Islam tak pernah kenal lelah, berupaya menancapkan kuku-kuku tajamnya. Karena kebangkitan Islam menjadi satu hal yang tidak mereka kehendaki. Mereka melakukan serangan pemikiran secara masif, guna menjauhkan umat Islam dari ideologinya. Dan salah satu bidikan perang pemikiran mereka, adalah Keluarga-keluarga Muslim.
Mereka memahami, bahwa keluarga merupakan bagian mendasar dari sebuah umat. Keluarga adalah tempat lahirnya generasi masa depan. Beragam pemikiran sesat dan menyesatkan dihembuskan guna menikam secara telak fungsi dan peran keluarga. Mulai dari merusak peran suami dan istri, peran anak dan orang tua, serta mengontrol populasi Muslim di dunia.
Setidaknya ada dua lembaga internasional yang berperan dalam meliberalkan keluarga Muslim, diantaranya ICPD (Interational Conference of Population abd Development) dan IPPF (International Planned Parenthood Federation). Isu yang dilontarkan seragam, mulai dari kebebasan hak reproduksi, perlindungan wanita dari kekerasan dalam rumah tangga, kesetaraan gender, dan menghapuskan diskriminasi seksual.
Beberapa agenda besar dalam mendestruksi keluarga Muslim, seperti: memfitnah ajaran Islam sebagai penyebab KDRT, agenda kawin campur, kontrol populasi, pembatasan usia pernikahan, larangan poligami dan nikah sirri, mendorong kaum wanita untuk melepaskan pengasuhan anak-anak mereka.
Tentu segala makar musuh-musuh Islam mengalihkan Umat dari idealisme keluarga yang Samara. Lantas adakah cara menghalaunya?
/Kunci Samara/
Memugar pondasi keluarga tentu bukan dengan memuluskan agenda kaum kuffar (Barat). Sebaliknya, pemikiran Islam harus kembali di dekap. Konsep berumah tangga, tidak luput dari perhatian agama (Islam). Kuncinya ada pada pelaksanaan hukum syara’. Jika sebuah keluarga menerapkan aturan Allah, yakni suami dan istri konsisten dalam melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing, serta menjunjung adab dan akhlak terhadap pasangannya, juga pola asuh yang bersandar pada akidah Islam, niscaya bukan hanya Samara yang diraih, berikut juga limpahan pahala yang besar.
Membangun dan membina keluarga adalah salah satu ibadah yang rentang waktunya sangat panjang. Jika salat dapat ditegakkan lebih kurangnya lima menit, maka berkeluarga memakan waktu yang tidak sebentar. Pemahaman ini, akan membuat pasutri menyadari, berkeluarga bukan hanya sekadar pencarian akan bahagia dan dalam rangka mencari kepuasan semata, namun amalan terbaik untuk dipersembahkan di hadapan Allah Ta’ala. Meski bahagia akan alami tercipta saat tergapai Samara. Dan tiadalah Samara tanpa penegakan syariat di dalamnya.
Untuk itu, masalahnya bukan pada siapa yang superior dan siapa yang inferior, bukan juga pada banyak atau sedikitnya anak atupun harta benda, tetapi lebih kepada sejauh mana keluarga Muslim terikat pada hukum syara’?
Tentu, progresnya akan lebih nampak, saat negara turut serta memberlakukan sistem Islam dalam segala lini kehidupan. Dan meng-counter arus pemikiran sekuler dari luar Islam. Karena sejatinya negara merupakan benteng utama bagi rakyat, pun bagi tegak atau runtuhnya keluarga.
Jika sudah demikian, maka Samara tidak sebatas “jargon” dalam undangan semata, tapi juga mewujud nyata sembari mempersunting bahagia.
Wallahu a’lam bish-shawab
*Revowriter