Oleh : Maya dari Gresik
#MuslimahTimes — Perlahan tapi pasti, satu per satu kado pahit dari penguasa akan sampai di tangan rakyat dengan tidak selamat. Setelah TDL listrik mengalami lonjakan, lalu BBM dan juga tarif BPJS mengalami kenaikan, kini giliran gas melon yang menjadi sasaran. Dilansir oleh Okezone 22/6, PT Pertamina (Persero) memastikan akan segera menjual gas elpiji 3 kilogram non subsidi per 1 Juli ini. Masih berupa usulan dari Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, rencananya harga jual elpiji non subsidi tersebut sebesar 39 ribu.
Menelisik lebih jauh, memenuhi kebutuhan masyarakat yang mampu adalah alasan dibalik plan besar ini. Namun tentu saja pendapat tersebut kurang bisa diterima, karena masyarakat bagaimana pun status sosialnya akan memilih yang lebih murah. Ketidak logisan ini tentu akan menggiring masyarakat untuk berpikir kritis. Karena seperti yang diketahui, hutang luar negeri Indonesia beserta bunganya sudah mencapai angka yang begitu fantastis. Sehingga APBN dipandang lebih perlu untuk dialokasikan ke arah pelunasan hutang daripada subsidi.
Adapun alasan lainnya adalah untuk menghentikan salah sasaran subjek penerima subsidi. Meski begitu, Plt Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati berani memastikan bahwa perseroan tidak akan mengurangi kuota tabung gas subsidi. Tapi, benarkah nanti akan berjalan demikian? Karena belum launching saja, kelangkaan barang tersebut sudah terjadi di berbagai penjuru negeri. Bahkan di beberapa kota, masyarakat kelas bawah harus rela merogoh kocek lebih dalam lantaran harga jualnya yang melebihi HET.
Kebijakan menyakitkan ini tentu saja memaksa masyarakat menerima fakta bahwa energi bukanlah barang murah. Dan adalah sesuatu yang mungkin, jika nantinya elpiji non subsidi ini akan menjadi jalan halus untuk menarik kembali elpiji subsidi. Sehingga, terlenanya masyarakat akan kepraktisan pemanfaatan gas melon mau tidak mau membuat mereka rela beralih ke barang non subsidi, sekalipun mahal.
Sebenarnya, fakta penjualan atau pelayanan energi baik gas maupun listrik dengan klasifikasi subsidi – nonsubsidi semakin menunjukkan curamnya jurang kesenjangan yang menimpa negeri ini. Bukan hal aneh. Kapitalisme memang menjadi produsen terbesar lahirnya kemiskinan. Persekutuan para konglomerat akan membuat uang hanya berputar di lingkungan mereka saja. Bahkan dengan uang itu, kongkalikong dengan penguasa bisa saja terjadi. Tentu dengan pertimbangan produk barter berupa kebijakan pro kapital.
Disamping itu, liberalisasi ekonomi merupakan buah yang tidak bisa dipisahkan dari kapitalisme. Dimana dalam realita nya, keserampangan dalam pengelolaan dan kepemilikan SDA tetap dianggap legal oleh sistem ini. Sehingga negara, dengan kekuasaan di genggaman bisa bertindak seakan akan memiliki hak paling dominan dalam pemanfaatannya. Alhasil, korelasi antara negara dan rakyat berubah menjadi hubungan produsen – konsumen dengan profit sebagai imbalan suatu jasa/pelayanan.
Padahal, barang tambang adalah jenis barang milik umum. Bukan negara apalagi korporasi. Tidak dibenarkan mengambil keuntungan, tidak dibenarkan pula melakukan privatisasi. Kalaupun dalam proses eksplorasi nya membutuhkan upaya yang keras dan modal yang cukup besar, barulah negara turun tangan dan bertanggungjawab dalam pengelolaan. Hasilnya tentu harus dikembalikan kepada rakyat. Boleh jadi dengan dijual secara murah tanpa profit, atau gratis jika memang biaya produksi telah tertutupi.
Selain tegas dan jelas dalam mengaplikasikan aturan konsep kepemilikan, Islam juga keras menolak intervensi asing dengan segala skenario jahat nya yang membahayakan rakyat. Spekulan juga ditindak sehingga mustahil dijumpai barang langka karena alasan penimbunan. Bahkan lebih mengerucut lagi, individu akan dididik untuk berperilaku hemat dalam pemanfaatannya.
Detailnya pengaturan Islam, tidak hanya dijumpai dalam permasalahan semacam ini, tapi seluruh tata kehidupan manusia. Problematika yang mendera pun tidak diselesaikan secara pragmatis yang berpotensi memunculkan cabang permasalahan baru. Melainkan komprehensif sampai pada akarnya dan juga preventif.
================================
Sumber Foto : BangkaPos