Oleh. Emma Lucya
(Anggota Forum Muslimah Indonesia -ForMind- )
#MuslimahTimes — Tidak semua perempuan diberikan kesempatan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk melahirkan anak melalui rahimnya. Dan tidak semua perempuan yang bisa melahirkan anak diberikan kemampuan untuk menyusui buah hatinya. Seorang ibu yang menyusui anaknya adalah fitrah dan itu adalah nikmat yang agung. Maka sungguh keterlaluan jika ada seorang perempuan yang diberikan kesempatan melahirkan dan kemampuan menyusui anak kandungnya, namun ia enggan tanpa halangan yang syar’i.
Salah satu fitrah perempuan adalah hamil, melahirkan, kemudian menyusui. Menyusui adalah tugas mulia seorang ibu sekaligus anugerah dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika amanah menyusui dilaksanakan dengan baik dan sepenuh hatimaka insya Allah akan mendatangkan kemaslahatan sangat besar bagi ibu dan juga keturunannya. Beberapa kemaslahatannya diantaranya:
- Membahagiakan sang ibu dan anak
“Wajib bagi wanita merdeka untuk menyusui anaknya ketika dikhawatirkan anaknya terlantar karena tidak mau minum asi wanita lain atau susu lainnya. Dalam rangka menjaga anak ini dari kematian. Sebagaimana juga ketika tidak dijumpai wanita lain yang bersedia menyusuinya.
Dan si istri berhak mendapatkan upah yang sewajarnya. Namun jika tidak dikhawatirkan si anak terlantar (karena masih mau minum susu lainnya, pen) maka si istri tidak boleh dipaksa. Berdasarkan firman Allah (yang artinya), ” jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya..” (Syarh Muntaha al-Iradat, 3:243)
- Ladang pahala bagi sang ibu dari tiap tetes air susunya
“…Tak ada seorangpun perempuan yang hamil dari suaminya, kecuali ia berada dalam naungan Allah azza wa jalla, sampai ia merasakan sakit karena melahirkan, dan setiap rasa sakit yang ia rasakan pahalanya seperti memerdekakan seorang budak yang mukmin. Jika ia telah melahirkan anaknya dan menyusuinya, maka tak ada setetes pun air susu yang diisap oleh anaknya kecuali ia akan menjadi cahaya yang memancar di hadapannya kelak di hari kiamat,
yang menakjubkan setiap orang yang melihatnya dari umat terdahulu hingga yang belakangan. Selain itu ia dicatat sebagai seorang yang berpuasa, dan sekiranya puasa itu tanpa berbuka niscaya pahalanya dicatat seperti pahala puasa dan qiyamul layl sepanjang masa. Ketika ia menyapih anaknya Allah Yang Maha Agung sebutan-Nya berfirman: ‘Wahai perempuan, Aku telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu, maka perbaruilah amalmu’.” (Mustadrak Al-Wasail 2: bab 47, hlm 623)
- Memperkuat bounding (ikatan batin) antara ibu dan anak
Pada hadis lain Imam Muhammad Baqir as berkata, “Mintalah wanita-wanita suci (yang senantiasa dalam keadaan wudhu) untuk menyusui anakmu, karena air susu itu menulari.”
- Mentransfer kepribadian baik dari ibu kepada anaknya
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Sebagaimana untuk menikah engkau berusaha memilih wanita-wanita baik, maka untuk menyusui anakmu pun engkau harus menemukan wanita-wanita yang baik, karena air susu dapat merubah watak.
- Menjauhkan dari siksa api neraka
“Kemudian Malaikat itu mengajakku melanjutkan perjalanan, tiba-tiba aku melihat beberapa wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular yang ganas. Aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat itu menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya 7491].
Kemaslahatan Dalam Perintah Islam
Sejatinya Islam telah memerintahkan sejak hampir 14 abad yang lalu, jauh sebelum ada penelitian lebih lanjut tentang pentingnya menyusui bagi sang bayi dan juga bagi kesehatan ibu sendiri.
Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 233 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Menyusui selama dua tahun disebut sebagai bentuk maksimalnya perhatian orang tua kepada bayinya. Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman [31]: 14).
Dari kedua ayat tersebut, mayoritas ulama menyimpulkan bahwa dua tahun adalah jangka waktu yang ditentukan Allah untuk menyusui. Seperti pendapat Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut. “Ini merupakan petunjuk dari Allah SWT kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anaknya dengan pemberian air susu ibu (ASI) yang sempurna selama dua tahun,” terang Ibnu Katsir. Walau ayat ini berbentuk khabar (informasi) namun ada unsur perintah yang harus dilaksanakan umat Islam, kecuali jika terdapat kendala atau kondisi yang menghalangi seorang ibu menyusui anaknya seperti sakit atau halangan syar’i lainnya. Dan di setiap perintah Allah Ta’ala untuk kita pasti mengandung kemaslahatan yang terkadang kita tidak mengetahuinya.
Nasib Perempuan dan Ibu dalam Sistem Kapitalisme-Neoliberal
Sungguh disayangkan jika ada seorang ibu yang masih enggan menyusui anaknya hanya karena takut bentuk tubuhnya tidak akan ideal lagi ketika harus menyusui. Bahkan ada yang diet ketat setelah melahirkan karena ingin mendapatkan berat badan yang kembali ideal. Dorongannya cuma karena ingin mengikuti gaya hidup perempuan “modern”, tren atau fesyen dantuntutan pekerjaan tanpa memahami hakikat hidup dan apa tujuan diciptakannya potensi seorang ibu menyusui anaknya.
Di Indonesia, lebih dari 3 juta perempuan menjadi buruh migran meninggalkan anak dan keluarganya akibat kemiskinan, dan jumlahnya bertambah ribuan setiap tahunnya meski banyak kasus-kasus perkosaan dan kekerasan tidak manusiawi menimpa (migrantcare.net, 18/9/2015). Saat ini para perempuan dipaksa bekerja di ruang publik oleh sistem yang ada karena minimnya peluang kerja bagi laki-laki. Salah satu dampak buruknya, para perempuan –terpaksa atau tidak- meninggalkan kodrat sekaligus kewajibannya untuk mengandung, menyusui anak, termasuk dalam pengasuhan dan pendidikan anak karena waktunya habis untuk mencari uang di sektor publik. Menyedihkan.
Program-program seperti Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) telah menjauhkan para perempuan dan ibu dari tugas-tugas mulianya. Yang ada, justru para perempuan semakin didorong untuk terus bekerja dan bekerja kemudian menomorduakan tugas keibuannya.
Menyusui, Bentuk Ketaatan kepada Allah
ASI adalah rezeki dari Allah. Bagi perempuan yang mampu menyusui anaknya namun enggan melakukannya tanpa alasan yang syar’i (misalkan kesehatan atau yang lain yang memang diperbolehkan dalam Islam) maka ia berdosa. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang anak-anak kalian” [QS. an-Nisa’ : 11]. Maka sudah menjadi kewajiban para ibu yang “mampu” menyusui untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya sebagai titipan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Itu adalah bentuk ketaatan kepada Allah.
Sudah sewajarnya kita, para orangtua, mencurahkan kasih sayang yang tulus kepada anak, memberikan yang terbaik untuk mereka sejak dalam kandungan hingga dewasa. Sejak dalam kandungan kita berupaya menjaga kesehatan, mendoakan dan melakukan kebiasaan baik. Setelah melahirkan, kita rawat bayi kita dan memberikan ASI hingga dua tahun jika memang mampu. Menuju dewasanya, kita arahkan anak-anak kita pada hal-hal yang baik (khair) dan ajarkan tentang aturan Islam yang rahmatan lil ‘alamin secara kafah. Semoga dengan begitu akan bertumbuh benih-benih generasi penerus terbaik bagi kejayaan Islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bi asshawab.[]