Oleh : Tin Latifah S.Pd
(Pendidik dan Pemerhati Masalah Sosial)
#MuslimahTimes –– Baru – baru ini Setara Institute merilis hasil penelitianya yang mengukur soal Promosi dan praktik toleransi di 94 kota di Indonesia pada tahun 2018.Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 tersebut mencatat bahwa DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya, seperti Bogor, dan Depok masuk dalam daftar 10 kota dengan skor toleransi terendah (KOMPAS.com). Tidak kali ini saja Setara Institute menyampaikan hasil penelitiannya, pada tahun lalu 2017Â Setara Institute juga merilis hasil penelitianya tentang tentang Kota Toleransi di wilayah Indonesia. Yang menyebutkan DKI Jakarta termasuk kota dengan skor toleransi terendah, yakni 2.30 (TEMPO.co). Di tahun 2010 Setara Institute juga melakukan penelitian tentang “Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat”.
Digambarkan didaerah Jabodetabek sebanyak 49,5 persen warganya tidak menghendaki kehadiran tempat ibadah agama lain di wilayah sekitar mereka. Sekitar 84,13 persen responden tidak menyukai anggota keluarga atau kerebat mereka menikah dengan orang yang berbeda agama (Al Wa’ie edisi desember 2012). Yang menjadi pertanyaan, validkah hasil survei Setara Institute? Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sendiri meminta Setara Institute untuk membuka seluruh pertanyaan survei intoleransi di Jakarta.Tujuanya untuk memastikan validitas dan reliabilitas survei. (TEMPO.CO).
// Menggugat Toleransi //
Toleransi merupakan istilah yang berasal dari kata tolerance. Terminologinya adalah ” toendure without protest” yang berarti menahan perasaan tanpa protes. Kata tolerance kemudian diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi, mengandung arti : bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendirian (KBIH ). Istilah toleransi sejatinya tidak ada dalam khasanah Islam. Menurut Dr. Anis Malik Toha, pada dasarnya istilah toleransi tidak terdapat dalam istilah Islam.
Istilah ini termasuk istilah modern yang lahir dari barat sebagai respon dari sejarah yang meliputi kondisi politik, sosial dan budayanya yang khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan (Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritis, Gema Insani Press.2005).
Alhasil, Isu intoleransi adalah permainan kaum liberal sebagai corong Barat. Karateristik kaum liberal adalah menjadikan kebebasan sebagai fokus utama mereka, yakni kebebasan tanpa batas yang menerjang norma – norma agama. Tema sentral yang biasa mereka usung ialah pemisahan agama dari politik, demokrasi, HAM, kesetaraan gender, kebebasan penafsiran teks agama, toleransi beragama, kebebasan berekspresi, persamaan agama (pluralisme).
Maka dari itu, umat Islam tidak perlu terpancing dengan hasil survei LSMÂ liberal, yang berusaha mengiring cara berfikir dan berbuat umat dengan kaca mata Barat yang jelas bertentangan dengan prinsip – prinsip Islam, dan ingin memberi kesimpulan bahwa umat Islam ketika berpegang pada agamanya di anggap intoleran.
Sesungguhnya isu toleransi hanyalah alat untuk menjegal penerapan syariah Islam dengan cara lebih santun dan lebih diterima semua kalangan.Adapun ide sesat di balik itu semua setidaknya ada tiga: Sekulerisme, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pluralisme.
// Toleransi dalam Pandangan Islam //
Tudingan Barat dan kalangan sekularis bahwa Islam merupakan ajaran yang intoleran terhadap pemeluk agama lain sama sekali tidak beralasan, tidak sesuai dengan realitas sejarah dan bertentangan dengan konsep Islam dalam memperlakukan non- Muslim.
Dalam hukum Islam, warga negara Khilafah yang non – Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warga negara Negara Islam.Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka.
Konsep perlakuan Khilafah Islam terhadap warga negara non – Muslim ada 6 : Pertama, Non-muslim berhak menjalankan kepercayaan mereka. tidak ada paksaan bagi non-muslim meninggalkan kepercayaan mereka, sebagaimana telah disebutkan dalam QS. Al-Baqarah:256.
Kedua,ÂNon-muslim mengikuti aturan agama mereka dalam hal makanan dan pakaian. Madhad Imam Abu Hanifah menyatakan, “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariah”.
Ketiga,Âurusan pernikahan dan perceraian antar non-muslim dilakukan menurut aturan agama mereka.
Keempat, Kesetaraan di depan hukum, di mata hukum tidak ada perbedaan antara non-muslim dan muslim. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra, pernah sejumlah Muslim menyerobot tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Khalifah Umar ra. kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut
Kelima, Kesamaan hak ekonomi Di dalam Khilafah Islam , “non – Muslim Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari Baitul Mal.” Karena itu kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara)
Keenam, Non – Muslim memiliki hak politik. Siapapun yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal sehat, memiliki hak yang sama menjadi anggota Majelis Umat.
Perlakuan adil Negara Khilafah terhadap non – Muslim bukan sekedar konsep, tetapi benar – benar diaplikasikan. Bukan juga berdasar pada tuntutan toleransi ala Barat melainkan karena menjalankan hukum syariah Islam.
T.W Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menulis “Sekalipun jumlah orang Yahudi lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”
Arnold kemudian menjelaskan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak di kenal di daratan Eropa. Kaum Kalvis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik. Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintahan Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam.”
Dari peristiwa 2 kali reuni 212  tahun 2017 dan 2018, yaitu peristiwa berkumpulnya jutaan manusia yang tidak hanya kaum Muslim, tapi juga non-muslim harusnya sudah cukup membuka mata dunia, bahwa kaum muslim adalah umat yang sangat menghargai keberagaman, umat yang sangat cinta damai, umat yang sangat toleran terhadap perbedaan.
Jangankan menyakiti manusia, menginjak rumput pun tidak di lakukan. Inilah wajah Islam yang sesungguhnya, ramah, damai, membahagikan, dan menyejahterankansiapapun yang ada di dalamnya.
Karena Islam adalah agama yang berasal dzat yang Maha Baik, Maha Benar, Maha Agung dan Maha Mulia.Dzat jauh lebih tahu apa yang terbaik bagi kehidupan manusia. Dzat yang teramat sayang dan cinta pada mahluknya. Sehingga tahu betul yang baik dan yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Realitas yang ada, minoritas non-muslim cukup nyaman di sini, berbeda dengan minoritas muslim di Rusia, Cina, Nigeria, Thailand, atau Myanmar dan negara-negara minoritas Muslim lainya.
Karena itu, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah yang akan menjamin kebahagian, kedamaian, ketentraman, kenyamanan kehidupan didunia bagi siapa saja. Namun, ketika dalam hidup ini manusia lebih bangga mengambil dan menerapkan aturan, sistem di luar Islam maka berbagai masalah, ketimpangan, penderitaan, dan kerusakan terjadi di mana-mana.
Wa allahua’alambiashowab