Oleh : Shafayasmin Salsabila
Hatiku kembali bedarah
Kala kalender menunjukan tanggal kelam bersejarah
Rasanya darah dalam nadiku mendidih, bergejolak amarah
Aku memang tak ada di situ saat jantung umat Muslim terenggut paksa
Tapi gambaran kelam itu amat nyata
Ketika detik keruntuhannya bak godam raksasa
Terserak sudah batu-batu pondasi yang telah tersusun sejak Rasul menapak di Madinah
Air mataku bersaingan dengan hujan hari ini
Langit seakan jadi penanda duka terdalam, langit tak pernah lupa, 95 tahun yang lalu ia telah menjadi saksi
Lihatlah Nabiku,
Perisaiku hilang
Pemimpinku dibuang
Khilafah dihempaskan ke dalam sebuah penjara hitam, tak boleh seorangpun datang menyelamatkan
Lihatlah Nabiku,
Umatmu tercerai berai
Wibawanya dicuri badai
Kehormatannya dinista
Nyawanya seakan tiada layak sekalipun ditukar dengan sekilo bawang merah, amat murah
Kekalutan menyelimuti wajah anak cucu Adam, keturunan kerumunan di dalam bahtera Nabi Nuh
Pengikut Rasul akhir zaman
Penerus Al Fatih dan Sholahudin Al Ayyubi
Mereka hamba taat nan beriman
Saat tali gantungan menanti sesiapa yang keras keyakinannya kepada Allah, Rabbul izzati
Saat api siap melahap jiwa yang teguh dalam iman
Saat hujan peluru dan roket siap mencabik tubuh nan setia bersama syahadat
Lihatlah duhai junjunganku
Di dinginnya malam tubuh kecil ringkih meringkuk kelaparan
Ingusnya menciderai nyenyak
Nyamuk melata menggerogoti darah yang tersisa
Adakah derita mampu dituang dalam sederat aksara?
Sedang di layar dipertontonkan kebusukan, sandiwara, tipu daya serta senyum sinis pemangku kebijakan
Yang dengan undang-undang sudah merasa bak Tuhan
Menentukan dengan sadis dan tanpa hati siapa yang selamat dan siapa yang akan disantap
Inilah potret umatmu kini, Nabiku
Setelah kepemimpinan Islam sesudahmu terjeda di tahun 1924
Lututku gemetar menahan beban rasa
Tak kuasa dirayapi pilu
Setiap hari berganti cerita sendu
Kabar pembantaian
Nanar mata menatap pengkhianatan
Mereka yang semestinya menjadi pengurus rakyat
Nyatanya abai dan melepaskan genggaman
Acuh pada reotnya gubug yang hampir roboh dimakan usia
Intiplah bilik-bilik rumah sakit
Antrian yang memanjang
Penolakan
Serta pembiayaan yang menjebolkan kantong jelata
Amat kejam
Pedih seperti luka disiram air garam
Maka aku mengingatmu, ya Nabi
Betapa lelah, kau menjejak tandus gurun demi kami, umatmu
Geraham yang tanggal di perang Uhud, menerjemahkan kegigihan
Pembelaanmu
Kecintaanmu
Pada kami, pada agama ini
Tanganmu mengepal, menggelorakan semangat juang fi sabilillah
Membuat terpacu adrenalin seluruh pasukan
Hingga kemenangan besar tak terelakan
Maka jika 3 Maret sejarah menorehkan dengan tinta darah
Tumbangnya negara Islam
Maka ingatlah bahwa cahayanya masih bersama matahari di atas langit sana
Menanti dijemput oleh pejuang bermental baja
Dengan sorot mata yang sama
Dengan keyakinan yang tak berbeda
Seperti pasukanmu dahulu kala, ya Nabi
Kami akan menapaki jejak gurun yang sama,
Kami akan arungi liku pendakian yang serupa
Jika engkau dahulu pernah mengajarkan tentang arti mendirikan
Maka biarlah saatnya untuk kami mengembalikan
Apa yang dulu pernah engkau amanahkan
Tepat di 3 Maret
Selaksa luka menjadi cambuk kebangkitan
Bukan lagi saatnya mengenang namun menantang
Lawan kezaliman
Bahwa kebangkitan Islam adalah takdir yang telah tertuliskan
Menjagalnya seumpama mencegah terbitnya fajar, pasti gagal
Maka biarlah kami menghimpun kenangan pahit menjadi energi untuk kembali tegak, berdiri dan mengepalkan tangan, sepertimu
Belajar dati kesalahan
Seraya melangitkan, bendera kemuliaan
Al liwa sebentar lagi akan dikibarkan
Bersama kembalinya perisai umat
Kekhilafan yang dijanjikan
Tiadalah 3 Maret kecuali memekarkan sebuah pesan
“Lanjutkan Perjuangan”
[Mnh]