Oleh. Mimin Diya
MuslimahTimes.com – Sudah menjadi tabiat setiap orang ingin membeli barang dengan kualitas baik dan harga murah. Apalagi jika sudah menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari. Sudah pasti para ibu rumah tangga akan secara rigid menghitung biaya pengeluaran belanja tiap bulan. Sayangnya, kerap sekali IRT merasa sesak dada tiap kali menghadapi lonjakan harga kebutuhan bahan pangan yang fluktuatif, mulai harga cabe, beras, bumbu dapur hingga minyak goreng.
Minyak goreng yang notabennya sangat dibutuhkan, harganya melambung tinggi mencapai Rp20.000/liter di beberapa tempat. Hingga pada akhirnya pemerintah menyubsidi harga minyak goreng premium sebesar Rp14.000/liter. Namun, ternyata masalah belum usai lantaran efek panic buying melanda masyarakat. Stok minyak goreng subsidi di setiap market ludes tanpa distribusi merata.
Kondisi seperti ini memang kerap terjadi, seperti halnya masa awal pandemi Covid melanda, yakni panic buying terhadap kebutuhan pokok untuk isolasi, masker, dan hand sanitizer. Kini pun sama terhadap minyak goreng. Kementerian Perdagangan (Kemendag) saja telah memprediksi harga minyak goreng akan terus naik sampai kuartal I-2022. Meskipun diungkapkan bahwa pasokan minyak goreng sejauh ini masih aman karena hasil produksi masih besar, mencapai 8,02 juta ton per tahun, sementara kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun. (Kompas, 25/11/2021)
Lantas, kenapa harga minyak goreng tidak stabil di tengah jumlah stok produk yang memadai? Ternyata pemicu lonjakan harga diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain : penyetaraan harga dalam negeri dengan harga internasional, tidak terintegrasinya produsen minyak goreng dengan produsen Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng sehingga mengganggu rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng, adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel serta peralihan energi Uni Eropa ke minyak nabati. (Kompas, 26/11/2021)
Sederet faktor pemicu kenaikan harga tersebut tentu butuh solusi komprehensif dari negara demi memenuhi kebutuhan rakyat. Salah satu usaha pemerintah dengan menerjunkan 70 produsen minyak goreng untuk ikut berperan menekan laju harga minyak goreng melalui operasi pasar (harga Rp14.000/liter) butuh diimbangi kebijakan penurunan harga CPO dalam negeri.
Merujuk data yang ada, sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara produsen CPO besar, bahkan pernah menduduki rangking pertama eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia pada tahun 2020. Total ekspor CPO RI mencapai 37,3 juta ton dengan market share global mencapai 55 persen. Sementara sepanjang tahun 2021 diperkirakan mencapai 47,47 juta ton. (Sindonews, 15/12/2021)
Ini adalah keuntungan besar yang menyumbang pemasukan devisa negara. Hanya saja harga CPO dalam negeri ternyata juga mengikuti harga internasional. Padahal dalam skala internasional harga CPO terus melonjak sejak tahun 2021, bahkan cetak rekor di level RM5.071 per metrik ton di Oktober dan November 2021.(CNBC, 7/1/2022)
Harga bahan baku yang mahal tersebut jelas berpengaruh pada biaya produksi dan harga jual minyak goreng. Akan tetapi, langkah penstabilan harga seolah begitu sulit dilakukan karena ditumbangkan oleh kepentingan individu. Apabila mengamati fenomena tersebut dengan pemahaman yang mendalam, jelas terdapat pihak-pihak yang berhasil meraup keuntungan besar, baik produsen CPO maupun produsen minyak goreng di tengah harga jual produk yang tinggi.
Terdapat indikasi kartel yang kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan. Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terlihat bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO, seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng. (Kompas, 21/1/2022)
Artinya komoditas strategis yang dibutuhkan masyarakat sebagian besar dikuasai oleh elit pengusaha maupun penguasa. Rakyat akhirnya terjebak pula dalam sistem ekonomi panic buying yang sejatinya juga dimanfaatkan oleh orang yang punya modal lebih (yang berduit bisa memborong lebih banyak untuk stok atau bahkan dijual kembali lantaran kurangnya kontrol distribusi). Adapun sebagian besar rakyat yang bermodal kecil akan tetap merasakan mahalnya harga minyak goreng di pasaran.
Mental meraup keuntungan pribadi yang merebak sekarang ini tidak lain akibat standar hidup masing-masing orang berlandaskan pada sistem materialisme, turunan kapitalisme. Maka, inilah yang sebenarnya menjadi akar masalah karut marut perdagangan ekonomi saat ini. Dan tidak ada solusi lain dalam kehidupan masyarakat untuk meraih kesejahteraan hidup kecuali dengan mencampakkan sistem kapitalisme sebagai landasan pengaturan negara.
Sebagai solusi tuntas tidak ada lagi kecuali harus ada perubahan total yang menggerakkan individu dan masyarakat yang peka dengan kondisi sesama dengan tidak melakukan perbuatan saling jegal, penimbunan, manipulasi maupun monopoli dagang. Serta negara yang menghasilkan kebijakan demi kepentingan rakyat. Tentu semua ini mampu berjalan ketika sistem yang diterapkan benar, yakni bersumber dari ketetapan pencipta alam semesta. Dan ini sangat butuh untuk dikaji secara mendalam oleh berbagai pihak.