Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com- Seorang anggota TNI, Kopda M, menjadi dalang penembakan istrinya, RW, di Semarang. Ia menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi pasangan hidup yang telah memberinya tiga anak itu. Motifnya, Kopda M punya wanita lain. RW kini masih dirawat intensif untuk menyelamatkan nyawanya.
Kasus-kasus pembunuhan terhadap pasangan, baik yang dilakukan suami terhadap istri atau pun istri terhadap suami, adalah sebuah kekejian yang sangat luar biasa. Sungguh tidak masuk akal, jika kedua insan yang sebelumnya hidup bersama satu atap, berdasar kesepakatan untuk saling mengasihi dan melindungi, malah berubah menjadi ancaman nyawa.
Ya, saat bersepakat menikah, suami istri membangun hubungan atas dasar kasih sayang. Mengapa berjalannya waktu, bisa berubah menjadi kebencian? Mengapa sampai terpikirkan untuk menghabisi pasangan? Padahal, masing-masing telah memberi kontribusi bagi kebahagiaan-kebahagiaan yang dirasakan sebelumnya. Bahkan menemani dalam suka dan duka sejak nol hingga berjaya.
Bagaimana bisa hendak dihabisi, terlebih alasannya hanyalah syahwat? Ya, apalah artinya selingkuh jika landasannya bukan syahwat? Apakah bisa diterima, alasan selingkuh itu atas dasar cinta, jika pahit getir menjalani rumah tangga saja belum teruji dibandingkan dengan pasangan sahnya? Nafsu syahwat itulah motif sebenarnya. Fakta ini menjadi pelajaran bagi pasangan yang menikah, bagaimana agar mampu merawat kasih sayang dalam pernikahan. Bagaimana caranya?
1. Nikah Bukan Bertujuan Syahwat
Membangun pernikahan bukanlah bermotif sebagai pelampiasan nafsu syahwat semata. Sebab jika ini tujuan utamanya, maka jika syahwat tidak bisa terpuaskan lagi, akan mudah berpaling hati. Sebab, seiring berjalannya waktu, pasti kekuatan syahwat masing-masing kian menurun.
Tubuh semakin bertambah usia, semakin berkurang kesegarannya. Kecantikan memudar. Kegagahan berkurang. Bila tak lagi menarik di mata, tak lagi memuaskan syahwat, tentu akan mudah meninggalkannya. Sebab setiap detik hadir pendatang-pendatang baru yang lebih segar dan menarik perhatian.
Sungguh, perasaan cinta itu berbeda dengan nafsu. Bila yang dituju dalam pernikahan hanyalah kepuasan biologis semata, tentu banyak pasangan-pasangan yang berpisah, karena sudah tak menarik lagi secara biologis. Namun, rahmah atau cinta kasih itu berbeda dengan syahwat.
2. Mewujudkan Belas Kasih
Menikah adalah jalan untuk memunculkan sifat-sifat kemanusiaan, berupa rasa welas asih. Cobalah pandangi pasangan dengan penuh rasa kasihan. Berkatalah dengan jujur, bahwa ia adalah orang asing yang telah kita pilih untuk berjuang bersama mulai dari fase-fase hidup susah. Tataplah pasangan dengan penuh rasa asih dan asuh, bahwa dialah orang yang telah begitu banyak mengorbankan kebahagiaannya sendiri, demi mendahulukan kebahagiaan pasangan dan anak-anak.
Jalinlah hubungan yang benar-benar dilandasi oleh welas asih. Saling menjaga dan mengayomi berdasar sisi-sisi kemanusiaan. Tak perlu menjadi malaikat hanya untuk menjadi orang yang memiliki jiwa kemanusiaan. Cukup menjadi manusia maka hilanglah kebencian.
3. Hadirkan Allah dan Anak-anak
Menjalani pernikahan yang semakin lama semakin terjal ujiannya, butuh kesadaran dan kesabaran. Mungkin ada kejenuhan. Ada godaan dari luar yang lebih menggiurkan. Maka, hadirkan Allah sebagai rem untuk tetap berada di jalur pernikahan yang benar. Ingatlah Allah terus menerus. Takutlah pada Allah ketika pintu kemaksiatan terbuka lebar.
Ingatlah anak-anak agar terus sadar akan tujuan pernikahan. Ingat anak-anak sebagai sumber utama kebahagiaan. Akankah tega meninggalkan mereka demi pasangan baru yang belum tentu mampu menghadirkan anak-anak selucu mereka. Akankah tega meninggalkan istri yang telah menjadi perantara kelahiran anak-anak itu. Ingatlah anak-anak, maka lembutlah jiwa. Ingat anak-anak agar tidak egois memikirkan kesenangan dan kebahagiaan pribadi. Ingat anak-anak supaya tidak membenci pasangan yang telah berkontribusi atas kehadiran anak-anak itu.
4. Calon Pasangan di Surga
Pernikahan bukan sekadar akad sah untuk menjalin hubungan berdua di dunia, tetapi juga mewujudkan pasangan akhirat. Kelak masing-masing dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya terhadap pasangan. Suami ditanya, bagaimana ia memperlakukan istri dan memberikan hak-haknya. Istri ditanya, bagaimana ia melayani suaminya.
Menikah bukan saja untuk berpasangan di dunia, tetapi ia juga berpasangan kelak di akhirat. Tentu sepasang suami istri ingin berkumpul kembali sebagai pasangan abadi di surga. Sebab sepasang laki-laki dan perempuan yang menikah penuh cinta, akan hidup bersama pasangannya di jannah.
Maka, jangan biarkan ada bibit-bibit kebencian sedikitpun, karena dialah yang kelak akan menjadi jalan surga kita. Kunci surga kita. Suami adalah kunci surga istri, dan sebaliknya istri adalah pasangan suami di surga nanti. Apabila di dunia kebencian yang hadir, kelak di akhirat akan saling menuntut agar pasangannya dimasukkan ke neraka. Na’udzubillah. Tentu bukan itu target menikah.(*)