Gaul Berpahala ala Islam
Oleh. Shafayasmin Salsabila
(Revowriter Indramayu)
Muslimahtimes.com–Mengerikan, 20 janin digugurkan dalam rentang 2 bulan. Polisi mengamankan 5 tersangka; D (49) sebagai eksekutor, OIS (42) asisten, AF (43) orang tua salah satu pasien, lalu 2 orang pasien, AAF (18), dan S (33), di sebuah apartemen. Parahnya, D sebagai eksekutor, bukanlah seorang dokter melainkan sebatas lulusan SMA dan tidak memiliki latar belakang medis. (detik.com, 21/12/2023)
Asal Aborsi
Terbongkarnya kasus aborsi ilegal di Kelapa Gading, Jakarta Utara ini, membuat para orang tua mengurut dada. Ketat ketir menghadapi kondisi pergaulan anak muda saat ini yang kian bebas. Dan, begitu pendeknya cara pikir mereka, menyolusi maksiat dengan maksiat lainnya.
Karena tidak mungkin ada aborsi ilegal, sebelum terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Tidak mungkin ada KTD, jika tidak adanya seks bebas. Dan mustahil terjerumus pada seks di luar nikah, apabila tidak diawali dengan gaul bebas. Lantas mengapa muda mudi bergaul tanpa batas? inilah yang perlu dikupas.
Pentingnya Mindset
Semua tindakan manusia berakal, bermula dari mindset-nya. Apa yang dipahami maka itulah yang akan dilakukan. Semua aktivitas sejatinya hasil dari pertimbangan di alam pikirnya. Begitu pun yang terjadi pada anak-anak muda. Apa yang dilihat, didengar, dibaca, ditonton, akan saling mengikat dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan menjadi buah pemahaman.
Pergaulan bebas, di mata anak-anak menjadi lumrah karena itulah fakta keseharian yang terindera. Sedang, belum pernah akalnya mengenali ilmu seputar halal-haram. Atau alasan mengapa harus menjadikan halal-haram sebagai timbangan perbuatan. Mereka belum mendapatkan itu, karena jauh dari penanaman akidah Islam.
Anak-anak dibuat berjarak dengan kajian tentang jalan hidup yang dikabarkan lewat Al-Qur’an. Bahkan sebagian dari mereka jarang menyentuh apalagi membuka kitab sucinya. Pikirannya sudah tersita oleh gawai, dengan kenikmatan berselancar di dunia maya.
Di sekolah, kurikulum pembelajaran hampa dari landasan akidah Islam. Lingkungan pun membiarkan anak lelaki dan perempuan bersahabat, bermain, tanpa batasan. Interaksi di antara keduanya, tak pernah disandarkan pada keridaan Allah. Ikhtilat, khalwat tak pernah menjadi pembahasan.
Pemikiran Islam menjadi hal asing bagi mereka. Sehingga cara mereka menghukumi perbuatan mengalir bersama kebiasaan umum, dan asuhan media sekuler, yang kosong dari aspek ruhiyah.
Aturan Pergaulan
Semestinya, saat anak-anak masuk fase baligh, akidah mereka sudah matang. Tanda kematangan akidah nampak dari keterikatan mereka dengan hukum syara. Memahami bahwa bersama baligh, ada perubahan besar telah terjadi. Kini, mereka resmi menjadi seorang mukalaf. Di hadapan Allah, mereka telah diakui sebagai hamba yang sudah layak mendapat taklif (beban) hukum syara’. Akalnya telah sempurna, dalam artian, sudah mampu memikirkan hakikat perbuatannya. Termasuk tata cara dalam bergaul dan berinteraksi dengan lawan jenis.
Hidup akan selalu mendamparkan manusia, pada dua pilihan saja. Rida Allah atau murka Allah. Ini adalah hal yang fundamental, dalam ajaran Islam. Sehingga, anak-anak yang telah baligh, akan berhati-hati dalam pergaulan keseharian. Baik, di lingkup keluarga besar, tetangga, atau lingkungan sekitar, pun di sekolahan. Tak menafikan juga, ketika mereka aktif di media sosial. Kerangka mardhotillah (meraih ridha Allah), akan selalu menjadi prinsip. Sehingga dengan sendirinya, ada perisai yang tercipta.
Aturan pergaulan dalam konsepsi Islam, telah ditegaskan dalam banyak dalil. Di antaranya ada larangan mendekati zina, di QS. Al-Isra’ ayat 32. Jangankan berzina, mendekatinya saja sudah diharamkan. Wasilah-wasilah yang dapat menjerumuskan kepada aktivitas seks di luar nikah, telah dibandrol dengan label haram. Iman akan mendorong setiap hamba, meninggalkan semua hal yang diharamkan, sepenasaran atau selegit apa pun. Tidak ada toleransi, juga negosiasi. Tegas, dan lugas.
Maka jelas, Islam tidak mengenal terminologi “pacaran”. Sebagai aktualisasi dari naluri melestarikan keturunan (gharizah na’u). Ketertarikan kepada lawan jenis, akan diarahkan hanya lewat jalur pernikahan.
Ketertarikan itu sendiri biasanya berawal dari pandangan mata. Tatapan yang ditunggangi setan. Maka di dalam surat An-nur ayat 30 dan 31, Allah menegaskan kepada para hamba-Nya, baik lelaki dan perempuan, untuk menundukkan pandangan. Betapa banyak kemaksiatan yang timbul berawal dari fitnah pandangan.
Ditambah lagi hadis yang melarang muda mudi menyepi berdua (khalwat), juga campur baur dalam keramaian (ikhtilat). Islam juga mengatur soal safar atau bepergiannya seorang perempuan. Semua ada ketentuannya, semata demi terjaganya marwah dan muruah dari para Muslimah. Maka Islam telah menutup pintu-pintu ke arah perzinaan.
Ketika Islam memberikan seperangkat peraturan soal pergaulan, bukan berarti mengekang keinginan bersosialisasi. Islam membolehkan adanya interaksi di antara muda mudi dengan kepentingan yang jelas. Prinsipnya, gaul pun harus berpahala. Bukan modus untuk membuncahkan hasrat seksualnya. Misal bersinergi dalam keilmuan dan dakwah, tolong menolong pada hal yang ma’ruf atau kebaikan. Seperti terkandung dalam surat al maidah ayat 2. Juga At-Taubah ayat 21, yang artinya: “Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya….”
Sejatinya, anak-anak akan setia dengan patokan agama, jika sedari awal mereka dikenalkan dengan konsep-konsep Islam. Baik segmentasi akidah, sebagai fondasi, juga syariat yang menjadi konsekuen logis dari akidahnya. Mereka tidak akan terjebak pada situasi “sedang jatuh cinta”, atau terjerumus ke lembah nista, akibat “terlanjur sayang”. Pikiran mereka sudah disibukkan dengan karya dan semua hal yang dapat mendatangkan rida Allah saja. Jangankan terbersit ke arah aborsi, menatap kepada yang bukan mahram-nya saja dihindari.
Wallahu a’lam bish-shawwab.