
Oleh. Istiqomah, S.E
Muslimahtimes.com-Buah hati merupakan harta yang sangat berharga bagi sebuah keluarga, impian setiap pasangan suami istri untuk memiliki keturunan yang kelak menjadi aset masa depan mereka. UUD RI Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk itu dalam menjaganya agar tumbuh kembang menjadi lebih baik sebagai keluarga muslim tak luput dari usaha dan doa.
Sayangnya, belakangan ini, kasus kekerasan terhadap anak bergulir kembali. Penyiksaan berupa fisik, seksual, emosional hingga pengabaian terhadap anak. Parahnya, sebagian besar kekerasan terhadap anak justru terjadi di lingkungan terdekat yakni di keluarga dan bahkan pelakunya adalah orang-orang terdekat dan orang yang dikenal.
Dikutip dari Kompas.com, 14 Juni 2025, gara-gara momongan bayinya rewel, di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau pasangan suami istri berinisial AYS (28thn) dan istrinya YG (24thn), tega menyiksa bayinya berusia 2 tahun hingga tewas. Peristiwa tersebut diatas terjadi ketika IS (21 thn) karena terhimpit ekonomi setelah bercerai dengan suaminya, rela menitipkan bayinya ke YG dan AYS tersebut dengan upah 1,2jt per bulan. Selain itu YG dan AYS berkenan mengasuh bayi tersebut dengan alasan sebagai pancingan agar cepet dikaruniai momongan (bisa hamil).
Ditempat lain, kasus seorang anak berinisial M di duga di siksa orangtunya di Surabaya. Setelah disiksa kemudian dibuang ke Jakarta dan ditemukan oleh satpol PP Kebayoran lama Jakarta Selatan pada hari Rabu 11 Juni 2025 pukul 07.20 wib dalam posisi berada di dalam kardus dalam kondisi tertidur lemah dan sulit berbicara.
Permasalahan Kompleks
Pemicu kekerasan anak begitu kompleknya yang dipengaruhi beberapa faktor mulai dari keretakan rumah tangga, kesulitan ekonomi, pengangguran, emosi tidak terkendalikan, kerusakan moral, imannya lemah ditambah pemahaman fungsi dan peran orangtua sangat minim. Penyebab masalah yang lain diseputar perlindungan dan jaminan keamanan anak sangatlah kompleks. Dan perlindungan anak membutuhkan peran berbagai pihak mulai dari keluarga dalam hal ini orang tua, masyarakat dan negara.
Namun sayangnya dalam sistem kehidupan yang kapitalistik sekuler hari ini, termasuk peran seluruh elemen tersebut tidak bisa berjalan secara sempurna ditambah karut marutnya tuntutan ekonomi dan paradigma materialistik. Saat ini karena para ortu muda harus bekerja banting tulang demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga ditambah lagi ibu muda tersebut sebagai single parrent yang sekaligus turut berjibaku diluar rumah untuk bekerja semaximal mungkin sembari berusaha untuk menjalankan perannya di sektor domestik.
Perlindungan Anak Sistem Islam
Sebagai komparasi sistemis, Islam memiliki konsep yang sangat sempurna dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak. Allah swt mewajibkan para orang tua untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga, melindungi, dan mendidik anak. Konsekuensi dari tanggung jawab ini terkait erat dengan pahala dan dosa. Allah berfirman dalam ayat-NYA, “Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 27).
Atas dasar itu, orang tua harus berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan kewajibannya. Mereka memahami bahwa kelak Allah swt akan meminta pertanggungjawaban atas amanah tersebut. Untuk itu, agar orang tua dapat menjalankan perannya, sudah selayaknya negara menciptakan suasana yang kondusif.
Metodenya yaitu dengan memastikan bahwa peran antara suami dan istri berjalan sesuai fitrahnya. Ayah sebagai wali bertanggung jawab penuh mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan ibu memastikan tugasnya sebagai ummun wa rabbatul bait bisa berjalan sesuai syariat. Pembagian peran yang sesuai standar syariat ini akan mewujudkan hak-hak anak berupa penjagaan fitrah, penjagaan jiwa, termasuk penjagaan dirinya dari berbagai kekerasan fisik yang berpeluang terjadi pada anak.
Tidak dipungkiri hadirnya orang lain dalam pengasuhan anak adalah bentuk jasa yang pada dasarnya memang boleh dalam Islam. Hal ini sebagaimana seorang ibu rumah tangga yang juga boleh menggunakan jasa seorang asisten rumah tangga (ART) untuk menunaikan kewajiban domestiknya. Hanya saja, ketika kita memahami bahwa pemberdayaan perempuan saat ini ternyata merupakan agenda yang sengaja di aruskan oleh penjajah Barat untuk menghilangkan fitrah kaum perempuan,dan itu jelas -jelas layak untuk dikritisi.
Untuk menjadi catatan. Bahwa orang tua tidak boleh merasa telah menjalankan fungsi & tanggung jawabnya sebagai orangtua dalam menjaga anak-anak, hanya dengan mencari jasa penjagaan atau pengasuhan bagi anak mereka. Orang tua akan terkategori melalaikan tanggung jawabnya yang berasal dari Allah dengan menyerahkan sepenuhnya pengurusan anak tanpa mereka berkontribusi dalam menjaga dan mendidik sang buah hatinya.
Maka dalam Islam, mempekerjakan orang dengan tujuan memudahkan peran orang tua tentu dibolehkan. Oleh karena itu, ada akad yang terjadi antara pemberi jasa dengan orang tua. Pada titik ini, hukum yang berlaku akan mengikat antara pemberi dan pengguna jasa. Namun jika penyedia jasa tidak menjalankan objek akad, berarti pihak tersebut telah mengkhianati akad.
Bagi pelaku penganiayaan, Islam memiliki sistem sanksi yang harus diberlakukan kepada pelakunya sesuai tingkat kriminalitas yang dilakukan. Syekh Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya Nizam Al-Uqubat, menjelaskan bahwa batasan tindakan atau perbuatan kriminal adalah perbuatan tercela (qabih) menurut syariat.
Adapun penganiayaan, sebagaimana dalam kasus penyiksaan bayi usia 2 tahun tersebut bisa terkategori jinayat yaitu jika pelaku melakukan hal yang membahayakan organ tubuh, baik itu mata, kepala, punggung atau yang lain. Sanksinya sesuai diyat yang ditetapkan syariat. Bisa pula terkategori takzir jika pelaku melakukan kriminalitas yang terkategori melanggar hak seorang hamba. Bahkan, bisa terkategori qisas jika sampai menghilangkan nyawa.
Dalam sistem Islam, negaralah yang berperan paling penting dalam pelaksanaan sanksi terhadap pelaku. Negara pula yang berperan dalam menciptakan suasana yang kondusif agar penganiayaan terhadap anak baik dilakukan oleh orang tua sendiri, maupun dari lingkungan sosial agar tidak terjadi dan berulang-ulangi. Caranya adalah dengan melakukan edukasi secara kontinu mengenai kewajiban memberi perlindungan terhadap anak baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat.
Kesimpulannya, melindungi anak dari kekerasan membutuhkan sistem yang sehat yaitu sistem Islam Kaffah dalam bingkai Negara Khilafah yang dapat menciptakan atmosfer kondusif bagi terwujudnya keamanan bagi anak, dan masyarakat harus bahu-membahu merealisasikan apa yang menjadi visi negara Khilafah bagi generasi