
Oleh. Novita Larasati, S.Pd
Muslimahtimes.com–Posisi seorang guru di tengah pusaran tantangan zaman modern ibarat berjalan di atas tali tipis. Di satu sisi, mereka adalah garda terdepan pembentuk karakter dan moralitas generasi mendatang. Di sisi lain, mereka terperangkap dalam ruang abu-abu penegakan disiplin yang sarat dilema, yang tak jarang berujung pada ancaman hukum dan penggerusan wibawa.
Dua insiden yang mencuat ke publik belakangan ini menjadi cermin nyata betapa rumitnya persoalan ini. Pertama, polemik yang menimpa Kepala SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, Dini Fitri, yang berakhir damai setelah dugaan penamparan terhadap siswa yang kedapatan merokok. Kedua, foto viral seorang siswa SMA di Makassar berinisial AS yang dengan santai merokok sambil mengangkat kaki di hadapan gurunya. Peristiwa pertama menunjukkan tekanan luar biasa yang dialami pendidik saat mencoba menegakkan aturan—bahkan niat baik untuk mendisiplinkan bisa berujung pada laporan polisi. Peristiwa kedua secara telanjang memperlihatkan bagaimana etika dan rasa hormat kepada guru telah tergerus, digantikan oleh sikap kebebasan bertindak yang melampaui batas kepatutan.
Fenomena ini bukan sekadar cerita kenakalan remaja biasa, melainkan simtom dari krisis yang lebih fundamental. Ada indikasi kuat bahwa sistem pendidikan saat ini, dengan segala keterbukaan dan tekanan liberal, telah gagal secara memadai mencetak peserta didik yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berakhlak mulia dan taat aturan.
Hari ini, tidak sedikit remaja yang hidup tanpa arah. Mereka dibentuk oleh lingkungan yang lebih menonjolkan popularitas daripada integritas. Media sosial menjadi kiblat gaya hidup, selebritas menjadi panutan, sementara ajaran agama kian tergeser. Remaja diajarkan mengejar nilai rapor dan prestasi akademik, tetapi abai pada nilai moral dan tanggung jawab akhirat.
Akibatnya, kasus kriminalitas remaja meningkat, dari perundungan, tawuran, seks bebas, hingga penyalahgunaan narkoba. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap anak dan oleh anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini bukti nyata bahwa ada yang salah dalam cara kita mendidik mereka.
Krisis Moral dan Abainya Negara
Analisis mendalam menunjukkan adanya krisis wibawa guru yang paralel dengan krisis moralitas di kalangan remaja. Sikap siswa yang merasa ‘punya kebebasan’ untuk melanggar etika dan bahkan menantang otoritas guru adalah konsekuensi logis ketika nilai-nilai fundamental sopan santun dan rasa hormat tidak lagi menjadi pilar utama dalam kurikulum kehidupan. Guru menjadi pihak yang tak berdaya; ketika mereka berupaya keras menerapkan kedisiplinan, posisi mereka justru terancam, diadang oleh berbagai regulasi yang cenderung membatasi.
Kasus merokok di kalangan remaja menjadi ilustrasi nyata betapa lemahnya pengawasan. Rokok, bahkan rokok elektrik atau vape, yang menurut WHO digunakan oleh sekitar 15 juta remaja di dunia dan sembilan kali lebih mungkin digunakan remaja daripada dewasa. Remaja kerap menganggap merokok sebagai simbol kedewasaan, jati diri, atau bahkan kebanggaan agar dibilang ‘keren’. Ini adalah tanda betapa negara dan sistem yang berlaku saat ini telah abai. Pengawasan lemah, sementara nilai-nilai yang ditanamkan justru membuka ruang bagi kebebasan tanpa batas dan krisis moral.
Perlunya Perlindungan dan Solusi Mendasar
Dalam konteks penegakan disiplin, memang harus ditegaskan: segala bentuk kekerasan tidak dibenarkan. Kekerasan, baik fisik maupun verbal, tidak akan pernah menjadi solusi untuk mendidik. Kasus SMAN 1 Cimarga yang diselesaikan dengan damai dan pencabutan laporan oleh orang tua adalah langkah baik, tetapi ini seharusnya menjadi titik refleksi, bukan penutup masalah.
Lalu, bagaimana seharusnya guru bertindak? Mereka harus dilindungi oleh sistem. Saat ini, perlindungan yang jelas bagi guru nyaris tidak ada. Mereka berada dalam tekanan luar biasa. Mengingatkan yang bersalah, atau dalam terminologi agama disebut amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), adalah keharusan, namun pendekatannya harus berbasis dialog (tabayun), empati, dan pemahaman akan latar belakang siswa, bukan melalui kekerasan.
Negara juga harus menjamin lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan iman remaja. Media, teknologi, bahkan kebijakan sosial akan diarahkan untuk mendukung pembentukan generasi bertakwa. Sistem sanksi dalam Islam juga akan ditegakkan untuk mencegah kemungkaran dan memberikan efek jera terhadap pelanggaran
Bangkitkan Generasi Tangguh, Bukan Generasi Rapuh
Kini saatnya kita membuka mata. Kita tidak bisa berharap banyak dari sistem pendidikan sekuler yang terbukti gagal membentuk generasi tangguh. Kita butuh sistem yang menyeluruh, yang mengakar dari nilai-nilai wahyu, bukan sistem tambal sulam yang hanya memperbaiki permukaan.
Remaja Muslim adalah aset terbesar umat. Mereka bukan sekadar calon pekerja, tapi calon pemimpin masa depan. Sudah saatnya kita kembali pada sistem pendidikan Islam yang telah terbukti melahirkan generasi hebat seperti Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Fatih, dan Imam Syafi’i.
Generasi seperti inilah yang akan menjadi penjaga peradaban, bukan pengikut kebudayaan asing. Mereka akan membawa Islam sebagai solusi kehidupan, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga bagi umat manusia. Maka tugas kita hari ini bukan hanya mengajar mereka pelajaran, tapi menanamkan kesadaran hidup yang benar.
Jika kita ingin melihat masa depan umat yang gemilang, mulailah dari pendidikan yang benar hari ini. Sebab masa depan itu dibangun oleh generasi yang memahami makna hidup dan tahu ke mana mereka akan menuju. Dan Islam telah menyediakan seluruh jawabannya.