Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Blogger Profesional dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UT Jember)
#MuslimahTimes — Hampir semua orang tidak asing dengan yang namanya novel, yakni sebuah prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang yang berada di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan setiap pelaku dalam kisah yang diceritakan (Wikipedia).
Pada abad 18-19, novel adalah salah satu alat media komunikasi massa yang digemari oleh kebanyakan orang. Pada masa itu di Inggris ada seorang novelis terkenal yang hingga kini karyanya beberapa kali diproduksi ke layar lebar, yakni Charles Dicken. Salah satu karyanya adalah Oliver Twist, The Great Expectation dll.
Di masa yang sama, di Belanda pada tahun 1860 masehi, Eduard Douwes Dokker (nama pena adalah Multatuli) menjadi sosok novelis menggemparkan dengan karyanya yang tidak asing bagi rakyat Indonesia karena kerap masuk dalam pelajaran sejarah. Novel tersebut berjudul Max Havelar.
Max Havelar berkisah tentang potret masyarakat Lebak yang hidup mengenaskan pada masa kolonial Belanda ditambah dengan kezaliman penguasa feodal pribumi kala itu.
Pada awal abad ke-18, VOC yang merupakan perusahaan kongsi dagang di Belanda mengalami kebangkrutan karena maraknya korupsi di kalangan internal mereka. Hal ini membuat mereka banyak kehilangan “asset”, termasuk Indonesia yang merupakan daerah jajahan mereka. Namun kehilangan daerah jajahan oleh VOC tak lantas membuat Indonesia merdeka, karena penjajahan ‘dilanjutkan’ langsung oleh pemerintah Hindia-Belanda. Inilah yang kemudian menjadi awal mula munculnya kebijakan tanam paksa.
Kondisi politik di Belanda pada masa itu terbagi dalam beberapa kubu/partai, diantaranya anti-revolusi, pro-revolusi, kaum sosialis dan kaum Katholik. Orang-orang bekas VOC umumnya merupakan orang-orang yang pro-revolusi, sementara pemerintah Hindia-Belanda cenderung anti-revolusi.
Eduard Douwes Dokker adalah orang yang cenderung pada pemikiran pro-revolusi, sehingga Max Havelar lahir, juga dengan semangat memberi “muhasabah” pada pemerintahnya. Max Havelar pun “menggunjang” jagat politik Belanda kala itu. Rakyat Belanda akhirnya menemukan kebobrokan dari kolonialisme yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, padahal selama ini diberitakan bahwa daerah koloni itu hidup tenteram dan Makmur.
Demi meredam gejolak ini, maka Ratu Wilhelmina yang berkuasa kala itu menerbitkan kebijakan politik etis (politik balas budi) bagi Indonesia selaku daerah jajahan. Politik etis ini mempunyai tiga konsep, yaitu Irigasi untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat pribumi dalam bidang pangan. Emigrasi dalam hal tenagakerja dan edukasi atau memberikan pendidikan bagi masyarakst pribumi. Meskipun pada akhirnya politik etis hanyalah bentuk kesengsaraan baru bagi Indonesia.
Abad berlalu, media komunikasi pun berevolusi, kini muncul sebuah alat media komunikasi massa yang kerap kali mampu membentuk opini umum di masyarakat, yakni film. Film sejatinya merupakan serangkaian gambar diam, yang ketika ditampilkan pada layar akan menciptakan ilusi gambar bergerak karena efek fenomena phi.
Dengan adanya kemajuan teknologi di masa kini, dimana tanpa televisi orang sudah bisa menikmati berbagai film, misalnya melalui youtube atau saluran penyedia film lainnya (bioskop online – seperti netflix, weTV dll). Film jelas akan dengan mudah membentuk opini umum seperti halnya Max Havelar yang menimbulkan kegoncangan politik di Belanda pada masanya.
Beberapa saat lalu film “Jejak Khilafah di Nusantara” kurang lebih telah bertindak seperti Max Havelar, memberikan ‘gonjang-ganjing’ yang tidak sedikit baik bagi sisi pemerintah maupun pendukungnya. Bila Max Havelar mengangkat kebenaran mengenai kejamnya kolonialisme, maka Jejak Khilafah di Nusantara mengangkat kebenaran tentang hubungan Khilafah dengan Nusantara.
Isu Khilafah yang masih sangat sensitive di Indonesia, menimbulkan pro-kontra yang tidak hanya ramai di dunia maya. Namun juga menimbulkan efek hingga ke dunia nyata. Berawal dari pemblokiran film Jejak Khilafah di Nusantara atas aduan pemerintah pada tanggal 01 Muharram 1442. Kemudian muncul pernyataan -tak berdasar- pertentangan terhadap fakta yang disajikan dalam film ini. Tidak lupa hingga adanya persekusi dan dilaporkannya seorang ulama yang terlibat dalam pembuatan film Jejak Khilafah di Nusantara.
Semua ini adalah efek dari ide yang dibawa dalam film JKDN, dimana ide itu sudah mulai menjadi opini umum yang ditakutkan oleh penentangnya. Tentu saja ide atau gagasan yang ingin disampaikan dalam film ini, tak lain dan tak bukan, adalah tentang sebuah system pemerintahan Islam yang disebut dengan Khilafah.
Kebenaran yang disajikan dalam film ini adalah bukti empiris mengenai hubungan Khilafah dengan negeri-negeri di Nusantara yang kerapkali ditentang habis-habisan oleh banyak kalangan yang tidak menginginkan kembalinya kejayaan Islam. Padahal ketika bangsa ini mulanya dijajah oleh para Kafir dari Portugis, Belanda, dll. Semangat kemerdekaan yang dibawa tidak hanya agar lepas dari ancaman secara fisik oleh militer penjajah, namun juga memperjuangkan kembalinya system kehidupan Islam.
Khilafah yang sejatinya merupakan salah satu ajaran Islam sampai tidak diakui secara ‘fikih’ sehingga memindahkan pembahasan Khilafah ke mata pelajaran sejarah di dalam institusi Pendidikan Islam di Indonesia oleh kemenag beberapa saat lalu.
Sayangnya banyak sekali orang melupakan, bahwa yang namanya kebenaran, sejatinya tidak bisa disembunyikan. Baik dari tinjauan fikih maupun sejarah, Khilafah tidak bisa dipisahkan dari Islam, tidak bisa dipisahkan dari bagian dunia ini, bahkan tidak bisa dipisahkan dari Nusantara. Pemblokiran film Jejak Khilafah di Nusantaraadalah bentuk kekalahan intelektual para penentangnya, hipokrisi demokrasi dan upaya sistematis negara untuk mengubur sejarah Khilafah di Nusantara.
Seperti Max Havelar yang bisa membawa perubahan, maka film Jejak Khilafah di Nusantara tidak bisa dipungkiri membawa perubahan pula, yakni dengan semakin dikenalnya ide khilafah. Perbincangan dan kajian tentangnya semakin ramai, dengan bantuan Allah maka hanya menunggu waktu hingga Islam dimenangkan. Tentunya karena ini adalah seseuatu yang berasal dari Sang Maha Pencipta, maka pasti akan membawa rahmat bagi seluruh semesta. Aamin..