Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Sepuluh tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia turun signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jika 2014 terdapat 2.110.776 pernikahan, maka pada 2024 angkanya turun menjadi 1.478.302. Ini rekor terendah dalam satu dekade 2014-2024.
Di sisi lain, angka perceraian naik. Jika tahun 2014 perceraian di angka 344.237, pada 2024 naik menjadi 394.608. Rekor tertinggi terjadi pada 2022 usai pandemi Covid-19, yakni 516.344 perceraian (CNN, 21/7/25). Lalu apa hubungannya dengan kemandirian perempuan?
Runtuhnya Kesakralan
Menikah, dianggap sebagai simbol kesuksesan tunggal. Entah siapa yang merumuskan, tetapi memang sudah menjadi standar sosial sejak dulu. Seseorang belum dianggap sukses, lengkap dan bahagia hidupnya, jika belum menikah, punya anak, rumah dan kendaraan.
Akhirnya, menikah hanya menjadi semacam pembuktian sosial, untuk mewujudkan ekspektasi teman, keluarga dan masyarakat. Bukan dilakukan dengan fondasi berpikir yang matang dan persiapan yang cukup tentang cara membangun rumah tangga.
Ada yang fondasi keuangannya belum kokoh, nekad menikah. Akibatnya, terjadi penelantaran nafkah. Ada yang emosinya masih labil, lalu menikah. Akibatnya, konflik terus menerus hingga terjadi KDRT dan berujung perceraian.
Ada yang menganggap, menikah itu romantisme semata, seperti postingan di media sosial. Akhirnya terkejut saat menghadapi kenyataan bunyi token listrik bersamaan dengan gas dan beras yang habis.
Fondasi pernikahan yang rapuh seperti ini, mengakibatkan hancurnya nilai sakral pernikahan. Jika dulu orang kebanyakan menikah sekali seumur hidup, sekarang tidak.
Orang yang sudah terlanjur menikah, tidak bisa mempertahankannya. Ada masalah sedikit, cerai jadi pilihan. Alasannya, pernikahannya tidak membawa kebahagiaan. Mereka yang belum menikah, menjadi enggan dan takut. Takut gagal. Takut tak bahagia.
Melihat kenyataan tersebut, menikah sebagai simbol sukses dan bahagia pun dipertanyakan. Standar sukses seperti itu dianggap sudah kuno, atau tradisional. Sudah tidak lagi relevan dengan warga dunia modern.
Dengan kata lain, sukses itu tidak harus satu pilihan yakni menikah, tapi banyak pilihan. Inilah pola pikir yang kini dianut sebagian generasi muda, khususnya yang tinggal di perkotaan.
Misalnya, ada yang memilih hidup berkelana, tak punya rumah, dan menjelajah dari satu negara ke negara lainnya. Hidupnya untuk mengeksplorasi dunia, berpetualang dan menikmati kebebasan.
Ada yang memilih tidak menikah, fokus membangun karier, agar memiliki rumah impian dan mewujudkan kebebasan finansial. Ia memilih hidup sendiri, tanpa hubungan yang bersifat mengikat. Mewujudkan ambisi dan mimpi pribadi, tanpa dikendalikan orang lain.
Pengaruh Kemandirian
Pandangan bahwa menikah bukan lagi simbol kesuksesan dan kebahagiaan, juga melanda perempuan. Mereka yang memilih menjadi perempuan mandiri. Mengejar pendidikan tinggi, karier dan materi, adalah prioritas utama. Tidak lagi fokus memikirkan hubungan. Jika takdir mengantarkan mereka bertemu jodoh, ya dijalani. Jika tidak, mereka tidak ambil pusing.
Sayangnya, di antara perempuan mandiri ini ada juga yang kebablasan. Menjadi perempuan yang terlalu mandiri, hingga “memutuskan” hubungan sosial dengan orang lain. Artinya, mereka tidak menganggap penting menjalin relasi semisal menikah. Merasa mampu melakukan semuanya sendiri, tanpa butuh bantuan lawan jenis. Inilah yang disebut hyper independence.
Masyarakat diminta menerima pilihan perempuan seperti itu. Keluarga jangan lagi menuntut mereka untuk menikah, yang penting sudah tidak menjadi beban ekonomi. Bahkan, sebaliknya, perempuan mandiri mampu mengangkat ekonomi keluarga. Bukankah ini juga bentuk kesuksesan? Demikian narasi-narasi yang belakangan mulai dianut para perempuan.
Tak hanya mereka yang lajang, para perempuan yang pernah gagal dalam pernikahan juga mengadopsi ide ini. Perceraian yang menorehkan luka dan trauma gara-gara laki-laki, semakin menguatkan tekad untuk mandiri. “Tunjukkan, tanpa suami kita bisa lebih hebat. Balas dendam terbaik pada mantan adalah mewujudkan mimpi sampai sukses,” demikian narasi-narasi para single parent mom.
Bagaimana pandangan Islam? Tentu dikembalikan kepada hukum syara’. Sebagai manusia yang tidak bisa menciptakan diri kita sendiri, kita harus menurut pada Sang Pencipta. Apa yang dititahkan, itulah yang benar. Apa yang diperintahkan, itulah yang membawa maslahat.
Nah, menikah, membangun keluarga dan melahirkan generasi, adalah salah satu ajaran agama yang sangat dianjurkan. Tentu saja sudut pandang kita sebagai muslim, mendukung dan berusaha untuk mengamalkannya.
Makna Agung Pernikahan
Seperti dipahami, hukum asal menikah adalah sunah bagi yang mampu. Sementara hukum membujang atau tabatttul dengan sengaja adalah haram. Oleh karena itu, pilihan untuk tidak menikah dan keengganan membangun rumah tangga, tidak sejalan dengan sunah Rasulullah Saw. Islam memiliki tuntunan syariah, yang bila benar-benar diamalkan dalam menjalankan pernikahan, niscaya mampu mewujudkan ketenangan dan kebahagiaan.
Hanya saja, perlu diluruskan bahwa menikah dan berkeluarga itu bukanlah simbol kesuksesan dan status sosial. Melainkan, fase hidup seorang manusia dewasa untuk mengemban berbagai taklif hukum yang hanya bisa dilakukan di bawah akad nikah.
Pernikahan ditegakkan untuk menggenapi setengah agama, bermakna bahwa dengan menikah manusia terjaga kehormatannya. Terhindari dari maksiat dan banyak mencetak pahala.
Pernikahan juga akan menjadi fondasi untuk membentuk institusi keluarga, tempat manusia bertumbuh menjadi pribadi bertakwa. Pernikahan menjadi wadah tersalurkannya naluri hingga mewujudkan ketenangan.
Pernikahan menjadi sarana untuk melahirkan generasi penerus yang menjadi cikal bakal eksistensi peradaban manusia. Pernikahan adalah ajaran agung yang menjadi solusi untuk mengatasi berbagai persoalan manusia yang mustahil diselesaikan sendirian.
Bagi laki-laki, menikah adalah fase menjadi pemimpin dan penanggungjawab diri dan keluarganya. Bagi perempuan, menikah adalah fase untuk menjalankan kodratnya sebagai istri pendamping suami dan ibu untuk putra-putrinya.
Itulah makna menikah adalah ibadah. Menikah bukan sekadar untuk memenuhi ekspektasi sosial, mengubah status, romantisme semu atau mengejar kabahagiaan materi.
Dampak Negatif Hyper Independence
Impian akan kemandirian perempuan, dihembuskan oleh ideologi sekuler melalui gerakan Feminisme. Berangkat dari realita di negara Barat akan derita perempuan yang dinomor-duakan. Mereka pun bangkit, ingin setara dan bahkan melampaui laki-laki. Menurut mereka, perempuan mandiri itu bisa berdiri di kaki sendiri, tanpa selalu bergantung pada orang lain. Khususnya pada laki-laki.
Nyatanya, menjadi perempuan mandiri dan melakukan semua sendiri, bukan perkara mudah. Banyak yang akhirnya jujur mengakui dan menyerah. Terlebih, jika kemandirian itu sampai berlebihan atau hyper independence, bisa berdampak negatif bagi perempuan itu sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Pertama, kewalahan mengatasi masalah seorang diri. Perempuan yang sering melakukan banyak hal sendirian, pasti akan sampai di titik lelah fisik dan mental. Fisiknya tidak sanggup, batinnya menahan sakit.
Akui bahwa kita lemah. Masalah berat dan bertubi-tubi, tidak harus dihadapi sendiri. Tidak apa-apa meminta bantuan. Pura-pura kuat, justru akan menghancurkan diri sendiri.
Kedua, rentan merasa lonely atau kesendirian dan berujung pada depresi. Kita adalah makhluk sosial yang butuh interaksi dengan sesama. Perempuan hyper independence yang melakukan apa-apa sendiri, akhirnya jarang berinteraksi dengan orang lain, terutama untuk meminta bantuan. Akibatnya, orang lain pun segan dan enggan berinteraksi dengannya.
Lingkungan pergaulan menjadi sempit dan perasaan kesepian pun melanda. Merasa tidak ada yang peduli dan memperhatiannya, hingga bisa jatuh pada perasaan sepi. Jika ini terus menerus dipendam, akan menjadi stres dan depresi.
Ketiga, sulit membangun relasi dan bisa gagal menjaga hubungan. Perempuan yang terlalu mandiri pada saat gadis, akan kesulitan menyesuaikan diri dalam pernikahan. Akibatnya, mudah putus asa dan menyerah pada hubungan, yaitu meminta cerai.
Ini karena waktu gadis dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, selalu bisa melakukan apa yang dia kehendaki. Lalu, begitu menikah dia harus mengkompromikan antara kepentingan pribadinya dengan kepentingan pasangan.
Di sinilah ego dipertaruhkan. Jika tidak bersedia mengutamakan hubungan dan tetap ngotot mengutamakan kepentingan pribadi, yang ada pasti kegagalan dalam hubungan.
Kembalilah ke Fitrah
Diciptakannya laki-laki dan perempuan oleh Allah Swt, untuk saling bekerjasama dan tolong menolong. Mustahil kita bisa hidup sendirian tanpa saling membutuhkan. Sikap mandiri memang baik, jika dikaitkan dengan kemampuan bertahan hidup.
Namun, dalam kehidupan sosial, kemandirian yang berlebihan sampai menolak pernikahan, bertentangan dengan ajaran agama dan juga realitas hidup manusia. Karena itu, sikap mandiri tetap harus dikendalikan berdasarkan syariat Islam.
Jangan sampai karena terlalu mandiri, malah kehilangan kesempatan untuk meraih keutamaan sebagai manusia yang bertakwa dan bermanfaat. Manusia yang saling berbagi, tolong menolong dan membangun hubungan yang saling mencintai.
Inilah fitrah manusia, yakni saling berinteraksi dalam naungan akad yang sakral nan suci, untuk meraih ketenangan sejati.(*)
