Oleh: Hamsina Halik (Revowriter Mamuju)
MuslimahTimes— Persoalan perempuan memang tiada habisnya. Salah satu di antaranya adalah kesetaraan gender yang selalu menjadi isu hangat untuk diperbincangkan. Mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM), kaum feminisme menyerukan persamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan dalam segala bidang.
Melansir dari laman resmi International Woman’s Day, tahun ini tema kampanye yang diusung adalah #BalanceforBetter atau kesetaraan untuk dunia yang lebih baik.
Kesetaraan yang dimaksud ialah kesetaraan gender.
“Dari aktivitas akar rumput hingga aksi di berbagai belahan dunia, kita memasuki periode sejarah di mana dunia menginginkan kesetaraan. Kita sadar itu tiada dan merayakan keberadaannya,” tulis laman resmi International Women’s Day. (cnnindonesia.com, 08/03/2019)
Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan pada tanggal 28 Februari 1909 di New York dan diselenggarakan oleh Partai Sosialis Amerika Serikat. Sebuah cerita yang beredar di lingkaran internal para kolomnis Prancis, bahwa ada seorang perempuan dari buruh pabrik tekstil melakukan demonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York.
Demonstrasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melawan penindasan dan gaji buruh yang rendah, tetapi demonstrasi tersebut dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian. Pada tanggal 8 Maret 1907, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai peringatan terhadap kasus yang terjadi 50 tahun yang lalu.
Temma Kaplan berpendapat, “peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, tetapi banyak orang Eropa yang percaya bahwa tanggal 8 Maret 1907 merupakan awal dari terbentuknya Hari Perempuan Internasional.” (Wikipedia)
//Gagasan yang Merusak//
Berangkat dari kondisi perempuan yang sangat buruk akhirnya memunculkan gagasan kesetaraan gender, menyetarakan perempuan dengan laki-laki. Perempuan diasumsikan berada dalam kondisi keterkungkungan, kemiskinan, ketertindasan, terbelakang dll.
Semua ini dipicu oleh adanya beban berat yang berada di pundak mereka, yaitu, peran yang diemban oleh perempuan sebagai seorang ibu. Seperti hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Konon, inilah yang menghambat kemajuan dan kemandirian mereka.
Dengan memanfaatkan kondisi ini, perempuan pun diarahkan untuk meninggalkan kodratnya. Sebagai seorang ibu sekaligus sekolah utama dan pertama bagi anak-anaknya. Perempuan diprovokasi terus-menerus agar menyejajarkan dirinya dengan laki-laki yang tak memiliki beban serupa.
Dengan dalih demi kemajuan perempuan, sebagaimana perempuan barat, gagasan kesetaraan ini pun dijadikan sebagai standar ideal bagi perempuan muslimah.
Hingga dalam ranah ekonomi, dengan dalih pemberdayaan ekonomi, perempuan pun akhirnya terjun mengambil posisi masing-masing. Berkarir. Menjadi pekerja sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan pun dieksploitasi sebagai mesin penghasil uang. Tenaga dan waktu habis hanya untuk urusan dunia hingga lupa akan jatidirinya sebagai muslimah. Lupa akan komitmennya terhadap keluarga dan tugas utamanya untuk mempersiapkan generasi.
Sejatinya, gagasan ini sangat merusak. Sebab, mampu merapuhkan dan meruntuhkan bangunan keluarga. Perempuan dan generasi pun ikut rusak.
/Tak Butuh Kesetaraan Gender/
Islam bukan sekadar agama yang mengurusi urusan ibadah, melainkan juga sebagai pengatur hidup umat. Termasuk dalam urusan keberadaan manusia. Islam telah menetapkan keberadaan manusia dengan jenis kelamin yang berbeda (laki-laki dan perempuan) dengan peran dan fungsi yang berbeda. Namun, perbedaan ini bukanlah bentuk ketidakadilan. Karena, faktanya adanya perbedaan ini justru akan saling melengkapi dan membantu satu sama lain dalam menjalankan perannya sebagai seorang hamba Allah.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kaum perempuan adalah mitra kaum laki-laki. (HR. Abu Dawud)
Islam pun telah memberikan kedudukan yang sama terhadap laki-laki dan wanita atas posisinya sebagai manusia. Adanya perkara mubah bagi laki-laki ataupun perkara wajib, sunnah, haram dan makruh juga berlaku atas perempuan, tanpa adanya perbedaan atau diskriminasi. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi, bukan untuk saling dibandingkan satu sama lain. Mana yang lebih utama. Karena, Islam telah menetapkan bahwa yang lebih utama di antara keduanya adalah ketakwaannya.
Inilah prinsip keadilan antara laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan bentuk fisik yang berbeda, tentu saja peran dan tugas yang dimiliki juga berbeda. Misalnya, Islam membebankan memberi nafkah adalah kewajiban laki-laki bukan perempuan. Sebaliknya, Islam membebankan pengasuhan anak adalah kewajiban perempuan bukan laki-laki. Jika, sebaliknya akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan peran masing-masing.
Islam telah menetapkan bahwa perempuan adalah seorang pengatur rumah tangga (Ummun wa rabbah al-bayt). Diberikannya tanggungjawab utama kepada perempuan mulai dari hamil hingga pengasuhan yang merupakan aktivitas paling penting bagi seorang perempuan. Tak satupun diserahkan kepada laki-laki.
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “perempuan adalah pengurus rumah suaminya dan anak-anaknya serta bertanggung jawab atas kepemimpinanya”. (H.R Bukhari Muslim)
Inilah tugas utama seorang perempuan . Penunjukannya langsung dari Allah SWT. Nilainya bukan sebongkah emas ataupun berlian. Tak ada yang mampu menilainya. Namun, yang mereka dapatkan adalah pahala langsung dari Allah SWT. Tugas ini tidak bisa dipandang remeh atau sebelah mata, karena tugas ini sangat penting dalam menentukan bentuk masyarakat. Luhurnya kepribadian masyarakat ditentukan oleh generasi dan kehidupan berkeluarga.
Demikianlah, Islam memuliakan perempuan dengan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.
Namun, bukan berarti bahwa adanya tugas pokok perempuan ini lantas telah mengukungnya untuk melakukan aktivitas di luar rumah.
Sebagaimana halnya laki-laki, wanita pun dibolehkan untuk menuntut ilmu, melakukan aktivitas pertanian, perdagangan, kontrak kerja dan perwakilan. Juga, ada keluasan untuk menekuni bidang yang diinginkan, mengelola hartanya dan mengembangkannya melalui bentukan persero atau perusahaan, memperkerjakan orang lain, dll.
Maka, dengan segudang kemuliaan dalam Islam yang diberikan kepada kaum perempuan membuktikan bahwa kesetaraan gender tak dibutuhkan. Sebab, ini adalah kondisi ideal bagi muslimah sebagai bentuk keadilan. Namun, semua ini hanya akan bisa dirasakan manakala syariat-Nya telah dijadikan standar hidup dalam bermasyarakat dan bernegara.
Wallahu a’lam bishshowab.
[Mnh]