Ernadaa Rasyidah
(Penulis Bela Islam)
MuslimahTimes– Penolakan terhadap legalisasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah diusulkan sejak 26 Januari 2016 semakin meluas. Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), karena dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Humas ACN Alwyah, mengatakan pasal-pasal dalam RUU tersebut tidak memiliki penjelasan secara rinci dan menjadi bias makna. Misalnya, terkait orientasi seksual yang multitafsir.
“Kita tahu orientasi seksual enggak hanya perempuan dengan laki-laki, tapi dalam konteks ini bisa jadi bias antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Banyak yang bias dalam pasal-pasal ini. Tentunya bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 juga norma agama,”
Alwyah juga menyesalkan penggagas RUU ini adalah Komnas Perempuan, yang seharusnya bisa melindungi kaum hawa.
Menurutnya lagi, “RUU ini rentan menjadi sumber masalah dan menjadi penyebab perceraian”. Lanjut Alwyah di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta pusat. (medcom.id 14/07/19)
Penolakan RUU P-KS yang sedang dibahas di DPR juga disampaikan oleh Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati), dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme.
Majelis Nasional Formati menyatakan hal itu melalui pernyataan tertulisnya di Jakarta, Senin, yang ditandatangani Koordinator Maj Nasional Forhati, Hanifah Husein, serta Sekretaris Majelis Nasional Forhati, Jumrana Salikki. “Secara sosiologis, ada muatan yang sarat dengan feminisme dan liberalisme ini, sehingga RUU P-KS ini memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan LGBT, serta pergaulan bebas,” kata Husein.
Majelis Nasional Forhati juga menilai, secara filosofis RUU P-KS ini bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka katakan, dianut bangsa Indonesia. (antaranews.com 15/07/19).
Jika kita menelaah lebih dalam, banyak agenda tersembunyi dalam draft yang disusun oleh kaum feminis liberal yang berlindung di balik jubah Komnas Perempuan tersebut. Propaganda jahat dibalik kataq perlindungan, bagaikan racun berbalut madu. Tampak manis, namun sangat mematikan.
Faktanya, dalam draft RUU P-KS ini hanya mengatur bentuk kekerasan seksual dan memisahkannya dari pembahasan segala bentuk penyimpangan seksual yang seharusnya menjadi inti pembahasan. Sehingga dapat dipastikan, ujung dari pengesahan RUU P-KS ini adalah pelegalan segala bentuk penyimpangan seksual, mulai dari perzinahan, kumpul kebo, aborsi, LGBT dan lain-lain yang sangat berbahaya merusak generasi.
Peradaban kapitalisme terbukti gagal memberikan jaminan dan perlindungan terhadap perempuan. Pencapaian nilai materi sebagai ukuran kebahagiaan menjadikan perempuan begitu mudah dieksploitasi. Akibatnya kaum perempuan tersandara oleh gaya hidup liberalisme, hedonisme dan konsumtif. Wajar kemudian menjadi lahan subur bagi segala bentuk kejahatan dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Peradaban kapitalisme sekular ini pula yang nyatanya diterapkan di negeri mayoritas muslim ini. Kehidupan sekular telah mengakar, menjauhkan peran agama sebagai penentu sebuah aturan. Standar baik dan buruk, benar dan salah dikembalikan kepada akal manusia yang bersifat lemah dan terbatas. Walhasil, menjadi lahan subur bagi kaum feminis liberalis untuk menjajakan ide-ide absurd mereka, salah satunya melalui RUU P-KS ini.
//Syariat Islam, Jaminan Perlindungan Perempuan//
Islam adalah sistem kehidupan yang unik. Memberikan jaminan perlindungan dan kemuliaan bagi manusia tanpa membedakan gendernya. Islam memposisikan perempuan sesuai fitrahnya, bukan sebagai komoditas yang hanya bisa dinilai dari materi. Islam menempatkan posisi perempuan sebagai ummu wa robbatul bayt, ibu dan pengatur rumah tangganya.
Aturan Islam menegaskan bahwa perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga, Islam bahkan mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kem
uliaan perempuan. Sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya “Perempuan adalah saudara kandung para lelaki. Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan mereka kecuali orang hina”. (HR.Abu Dawud)
Hukum-hukum Islam tentang larangan zina, larangan membunuh (aborsi), kewajiban menutup aurat, larangan safar tanpa disertai mahrom, kebolehan poligami nyata merupakan bentuk perlindungan atas kemuliaan perempuan.
Hal ini hanya akan terwujud dengan penerapan syariah Islam secara komprehensif dengan dukungan 3 pilar penerapannya.
Pertama, ketakwaan Individu. Individu bertakwa yang telah terinstal kepribadian Islam dalam dirinya, akan menyibukkan diri dengan ketaatan dalam rangka menjalankan misi penciptaan. Sehingga memiliki benteng pertahanan terhadap arus liberalisasi.
Kedua, masyarakat yang peduli. Masyarakat adalah kontrol sosial yang memilki peran sangatg penting untuk melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar. Sehingga suasana masyarakat yang terjalin penuh kasih sayang, saling menasehati dan peduli. Memiliki standar pemikiran, perasaan dan peraturan yang satu, yaitu akidah Islam.
Ketiga, negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Tidak dipungkiri, banyak hukum-hukum Islam yang membutuhkan peran negara dalam penerapannya. Penerapan sanksi atas tindakan kemaksiatan, tindakan kejahatan dan kekerasan membutuhkan peran dari negara tanpa pandang bulu.
Perlu pula kita pahami bahwa permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, tidak terlepas dari permasalahan ekonomi, hukum, pendidikan, politik dan sistem lainnya. Sehingga butuh sinergi untuk melahirkan perubahan yang sifatnya sistemik.
Dari sini, jelaslah bahwa RUU P-KS yang sedang diusulkan harus kita tolak. Ia tidak lebih sebagai racun di balik jargon penghapusan kekerasan. Faktanya ia bertujuan menjauhkan manusia dari fitrahnya, melahirkan manusia-manusia liberal, penentang aturan Allah. Akhir di balik pengesahan RUU P-KS, hanya akan menjadi legalisasi zina dan segala bentuk penyimpangan seksual lainnya. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam bi ash- shawwab.
[Mnh]