Oleh : Ifa Mufida
(Praktisi kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)
#MuslimahTimes — Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah memberikan teguran kepada program SCTV yang menayangkan film “Dari Jendel SMP”. Sanksi tersebut dilayangkan pada Rabu 8 Juli 2020. Sanksi teguran dijatuhkan KPI karena tayangan tersebut telah melanggar lima pasal Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3PSP) yakni pasal 14 Ayat (1) dan (2), Pasal 21 Ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Pasal 15 Ayat (1), Pasal 37 Ayat (1) dan (4) a, Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.
Ketua KPI Pusat, Agung Suprio menuturkan bahwa film “Dari Jendela remaja” tidak sesuai dengan kriteria film yang berlabel R (Remaja). Film ini justru memberikan contoh yang tidak baik terkait pacaran di sekolah, terdapat adegan dan dialog tentang kehamilan di luar nikah, rencana pernikahan dini, dan perawatan bayi setelah melahirkan (Pikiranrakyat.com).
Meskipun, sudah diberikan teguran, sinetron “Dari Jendela SMP” masih tayang sebagaimana biasanya di stasiun televisi SCTV. Teguran tersebut ternyata tidak bisa menghentikan channel televisi tersebut untuk tidak menayangkan sinetron yang merusak perilaku remaja. Lebih ironis, cuplikan film ini justru beredar secara bebas di youtube. Tentunya bisa diakses oleh siapapun di luar jadwal penayangan di televisi.
Benar saja, KPI hanya memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Uraian tugas dan wewenang KPI diatur berdasarkan UU NO. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Sedang sanksi yang bisa diberikan oleh KPI adalah berdasar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Peneliti Pusat Kajian Media & Komunikasi Remotivi Eduard Lazarus menyatakan bahwa sanksi – sanksi yang dijatuhkan KPI selama ini tidak berhasil mendesak industri televisi untuk memperbaiki konten. Penyebabnya ialah sanksi yang diberikan hampir tidak berdampak. Menurut dia, kondisi itu terjadi karena P3SPS tidak memadai sebagai acuan KPI dalam menjatuhkan sanksi (kompas.com).
Negara Tak Memberi Proteksi
Rusaknya tontonan yang beredar di kalangan remaja yang berlanjut dengan kerusakan moral generasi seolah menjadi arus yang terus membesar. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kerusakan generasi yang saat ini menjadi problematika pelik akan semakin parah. Fakta nyata menunjukkan bahwa remaja negeri ini sejatinya telah rusak. Salah satu contoh saja, baru-baru ini masyarakat dikagetkan dengan berita 37 pasangan anak usia SMP tengah berpesta seks di sebuah hotel (10/07). Mereka terjaring razia di hotel saat lagi asyik bercinta.
Maka, apakah kerusakan ini akan terus didiamkan? Padahal di pundak generasi, harapan negara ini ditambatkan. Maka pemerintah seyogianya mengambil peran untuk mencegah kerusakan generasi agar tidak semakin parah. Bahkan, mengobati mereka yang sudah terlanjur “sakit”. Berharap, pemerintah segera menetapkan kebijakan larangan tegas bagi media untuk menampilkan tontonan yang merusak akhlak, mengundang syahwat dan tidak beradab.
Namun, apalah daya jika sistem yang menaungi negeri ini faktanya memang justru memberikan ruang untuk berkembangnya kehidupan yang bebas. Negara tak memiliki proteksi sama sekali terhadap generasi. Semua perilaku yang beredar di tengah masyarakat akhirnya dibiarkan begitu saja karena satu kata “Hak Asasi Manusia”. Faham ini pun akhirnya berkembang, menjadikan masyarakat apatis dan tak peduli dengan urusan orang lain.
Lebih parah, jika pemegang kebijakan nyatanya justru mengambil peran hanya sebatas regulator. Begitu puas hanya sebagai pengatur, namun tidak pernah mengupayakan langkah strategis untuk menyelamatkan generasi. Sebagaimana penyerahan negara terhadap KPI di dalam mengevalusai dunia per-filman sejatinya adalah bentuk lepas tangannya penguasa. Padahal, tanggung jawab terbesar karena kerusakan di dalam suatu masyarakat tentunya akan ditanggung oleh pemimpinnya.
Butuh Terapi Menyelamatkan Generasi
Mengutip perkataan Imam Mawardi dalam kitab Adabun Dunya wad Din, bahwa “untuk menghancurkan suatu bangsa dan negara adalah dengan menghancurkan akhlak generasi mudanya”. Ironis, jika Indonesia yang sejatinya mayoritas pendudukanya muslim justru mengalami degradasi moral yang luar biasa. Harus ada upaya yang komprehensif untuk menyelamatkan kerusakan generasi. Butuh adanya integrasi antara individu, masyarakat dan negara.
Harusnya, negeri ini mengambil Islam sebagai problem solver di seluruh bidang kehidupan. Termasuk juga solusi bagaimana pengaturan media dalam islam. Media pun akan diatur dengan syariat Islam jika negara tersebut mengemban ideologi Islam. Sebuah Ideologi yang memiliki misi untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Pun juga sudah berhasil diterapkan dalam kurun yang sangat lama, hampir 14 abad. Kala itu, peradaban Islam telah berhasil mencetak pemuda-pemuda yang tangguh dan berkarakter Islam. Bahkan negara Islam saat itu menjadi mercusuar peradaban yang lainnya.
Di dalam Islam, media benar-benar digunakan oleh negara untuk mengoptimalkan dakwah, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri. Media di dalam negeri menjadi salah satu bagian negara melakukan pendidikan bagi seluruh warga negaranya, termasuk pendidikan bagi generasi. Sedang media untuk politik luar negeri, maka negara Islam akan benar-benar dimnfaatkan untuk dakwah ke seluruh dunia. Dalam merealisasikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maka, dakwah tadi pastinya akan dibersihkan dari segala macam konten sampah dan tidak bermanfaat. Begitu juga tontonan yang merusak generasi. Allahu A’lam bi showab.
Sumber Foto : Kompasiana