Jangan Terinfeksi Penyakit “Nggak Enakan”
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
MuslimahTimes.com – Allah Swt memerintahkan pada setiap Muslim dan Muslimah untuk berislam secara kaffah. Tidak pilih-pilih. Sebab ajaran Islam bukan prasmanan, diambil yang disuka saja, sementara yang tidak disuka ditinggalkan.
Kesempurnaan iman seorang Muslim akan terwujud manakala ia mengimplementasikan seluruh ajaran Islam dalam dirinya. Bukan hanya dalam ranah hubungannya dengan Allah (hablum minnallah) dan diri sendiri (hablum minna nafs) saja, tetapi juga dalam ranah hubungannya dengan sesama manusia (hablum minnas). Namun apa jadinya jika keinginan untuk taat tersandera oleh penyakit “nggak enakan”. Ya, penyakit ini rupanya banyak menginfeksi kaum Muslimin di negeri ini.
Misalnya saja ketika Islam memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk menjaga pergaulan, yakni laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dilarang untuk berkhalwat (berdua-duaan) dan berikhtilat (bercampur baur). Namun karena penyakit “nggak enakan”, akhirnya hal tersebut tetap dilakukan. Alasannya, “nggak enak karena itu rekan kerja” atau “nggak enak karena itu teman dekat semua….”
Oleh karena itu, banyak kita jumpai mereka yang dengan santainya makan, ngobrol ngalor-ngidul, dan bersenda-gurau dengan rekan-rekan kerjanya atau teman-teman sekolahnya secara campur baur, laki-laki dan perempuan. Bagi mereka itu sebuah hal yang biasa. Tapi tidak bagi Allah, sebab dalam pandangan Islam tidak ada persahabatan antara perempuan dengan laki-laki, kecuali persahabatan antara suami dengan istrinya.
Atau ada juga yang nekat berboncengan sepeda motor dengan sepupu yang lawan jenis, alasannya karena “Nggak enak nolaknya. kan sodara….” padahal kita tahu bahwa sepupu itu bukan mahrom. Boleh dinikahi. Maka haram hukumnya berkhalwat (berdua-duaan) dengannya.
Selain itu, banyak yang merasa “nggak enak” saat harus tampil berbeda dengan yang lain. Misalnya, saat harus datang ke sebuah acara, terpaksa mengikuti penampilan seperti orang kebanyakan. Soalnya merasa “nggak enak” kalau tetap pakai jilbab (gamis). Takut dipandang aneh, “seperti mau ke pengajian”.
Padahal Islam mewajibkan setiap Muslimah yang sudah baligh untuk menutup auratnya secara sempurna, yakni dengan jilbab dan khimar (kerudung) saat berada di kehidupan umum. Bukan di moment tertentu saja. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menyesuaikan kostum dengan momentnya, karena sejatinya pakaian takwa bagi Muslimah sudah ditetapkan oleh syariat, yakni jilbab (gamis), pakaian yang lurus tak berpotongan.
Tak hanya itu, dalam perkara lain pun penyakit “nggak enakan” kerap menghantui. Misalnya saat diundang ke acara walimahan (resepsi pernikahan) yang sudah jelas-jelas tidak syari, tapi tetap hadir dengan alasan, “Nggak enak, soalnya keluarga sendiri atau teman dekat….”
Padahal sudah jelas bahwa Islam mengharamkan untuk kita menghadiri sebuah undangan yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah. Misalnya terdapat biduan yang bernyanyi dan berlenggak-lenggok di depan khalayak, terdapat makanan haram yang disajikan, tidak adanya pemisahan antara tamu laki-laki dan tamu perempuan, dll.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tidak boleh bagi seorang pun menghadiri majelis yang di dalamnya terdapat kemungkaran atas pilihannya sendiri kecuali alasan darurat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk di hidangan yang dituangkan khamr.” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 221).
Tak hanya itu, banyak juga yang terinfeksi penyakit “nggak enakan” manakala dihadapkan pada sebuah kemungkaran yang nyata di depan mata. Misalnya, ketika melihat pasangan muda-mudi berbuat tak senonoh, pacaran di depan umum, kita hanya diam. Tidak menegurnya padahal kita melihatnya.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hilangkanlah dengan kekuasaannya, bila tidak mampu maka dengan ucapannya, bila ia tidak mampu maka dengan hatinya.’’ (HR. Muslim)
Sungguh ironis! Saat penyakit “nggak enakan” ini justru merasuk ke dalam diri kaum Muslimin. Sampai-sampai dirinya selalu berkompromi terhadap situasi. Dan akhirnya ketaatannya tergadaikan.
Padahal ketika kita dihadapkan pada sebuah pilihan antara yang hak dan yang batil sesungguhnya ketaatan kita sedang diuji. Apakah kita tersandera oleh perasaan kita sendiri ataukah kita mampu mendobraknya dan mengedepankan akal yang kita punya? Sejatinya Allah telah menganugerahkan akal untuk berpikir tentang sebuah kebenaran. Lantas, mengapa kita memandulkannya dengan perasaan kita sendiri?
Sejatinya kaum Muslim semestinya memiliki prinsip yang kokoh dalam hal ketaatan. Tegak berdiri di atas jalan yang benar, meski kadang harus dihadapkan pada aneka rasa yang menyergap diri. Manusiawi. Namun jangan sampai aneka rasa itu justru menciderai. Cukuplah rida Allah yang kita cari. Sebab kelak hanya ridaNya lah yang dapat menolong kita di Yaumul Akhir kelak.
Jadikan orang-orang di sekitar kita sebagai ladang dakwah bagi kita. Misalnya, ketika kita menolak untuk tidak kumpul campur baur bersama rekan-rekan kerja, sampaikan saja alasannya tentang bagaimana Islam mengatur soal pergaulan. Begitupun ketika kita tidak menghadiri walimah yang mengandung maksiat di dalamnya, sampaikan alasan kita kepada pemilik hajat. Atau bisa saja kita hadir sebelum atau setelah acara selesai. Sehingga kita tidak terlibat secara langsung dalamnacara tersebut. Bukan kita tak menghargainya, tetapi kita hanya sedang menggenggam ketaatan. Bukankah menggenggam ketaatan itu diibaratkan seperti menggenggam bara api?
Begitulah adanya, mungkin kadang-kadang kita akan menemui respon yang tidak begitu baik saat kita bertahan di atas prinsip hukum syara yang kita pahami. Namun hal tersebut bukanlah menjadi masalah besar bagi kita, karena masalah yang lebih besar adalah apabila kelak kita gagap ber-hujjah di hadapan Allah di hari penghisaban kelak. Wallahu’alam bi shawab.