Oleh Kholda Najiyah
Fase terpenting sebelum menikah tentulah bagaimana cara memilih calon pasangan. Ya, jodoh memang harus dipilih dengan detail, tidak asal comot. Jangan sampai calon pendamping dan orangtuanya tidak tahu sama sekali asal-usul sang calon. Jangan hanya percaya bualannya, tanpa menelusuri kebenarannya. Ini karena menyangkut kehidupan masa depan yang panjang.
Itu sebabnya, orangtua Jawa kuno berpesan pada anak-anaknya ketika akan menentukan pendamping hidup, yakni memperhatikan bibit, bebet dan bobot.
Bobot, meliputi kepribadian calon pasangan, apakah dia cukup dewasa, bertanggung jawab dan dapat diandalkan dalam rumah tangga. Apakah sang calon baik akhlaknya, cerdas, taat menjalankan agama, ganteng atau cantik, mapan atau belum, dll.
Sementara bebet bermakna lingkungan, dari mana calon pasangan berasal. Ya, lingkungan sangat mempengaruhi perangai seseorang. Karena itu, harus ditelusuri, siapa teman-teman bergaulnya, ke mana tempat aktivitas atau istilah gaulnya, tempat nongkrongnya. Dari sini akan bisa dilacak apakah dia orang baik-baik atau tidak. Lalu bibit, meliputi silsilah keturunan calon pasangan. Asal-usul keluarga besarnya seperti apa. Apakah dari lingkungan keluarga baik-baik, terdidik, berbudaya dan beradab baik, agamis, dll.
Panduan ini tampaknya tidak terlalu kuno untuk dijadikan patokan, tentu dengan tetap menyelaraskannya dengan syariat Islam. Artinya, bukan harga mati. Misalnya terkait keturunan, jika ada kasus seseorang yang shaleh tapi yatim piatu dan tidak diketahui asal-usul keluarganya dengan detail, bukankah tidak adil jika menjadi penghalang untuk menyuntingnya?
Begitu pula bila ada sosok sholeh tapi secara ekonomi belum mapan, tidak bisa dikatakan bobotnya kurang bagus, bukan? Sebab orang yang sholeh yakin, rezeki akan mengikuti pernikahan itu kelak.
Karena itu, kriteria terpenting dalam memilih pasangan hidup tetap pada pribadi sang calon itu. Kesalehan dan ketaatannya pada Allah SWT. Ini adalah syarat utama. Seseorang yang saleh, memahami dan melaksanakan syariat Islam dengan benar, insya Allah akan menjadi pribadi dewasa, penuh kasih sayang, dan bertanggung jawab.
Lantas bagaimana sosok yang saleh-salehah itu?
Pertama, bisa dilihat dari salatnya sehari-hari. Jika ia laki-laki, apakah tepat waktu sholatnya, berjamaah di masjid, tidak terlewat Jumatannya, dll.
Kedua, akhlaknya. Apakah dia orang yang baik, dalam artian tidak pernah terlibat maksiat. Apakah dia lemah-lembut, tidak pernah berlaku kasar atau melakukan tindak kekerasan. Termasuk bisa diperhatikan pula dari kebiasaan-kebiasaannya, apakah memiliki adab sopan-santun dan sifat-sifat yang baik. Jika ia wanita, bisa diperhatikan dari caranya menutup aurat, karena ini salah satu standar apakah dia mampu menjaga izahnya.
Ketiga, aktivitasnya. Apakah kegiatan-kegiatannya didominasi suasana religius. Misalnya aktif mengkaji Islam atau bahkan mendakwahkannya. Ke mana saja tujuan perginya, lebih banyak ke masjid, majelis ilmu, pesantren atau lainnya.
Keempat, keluasan ilmu Islamnya. Apakah bisa menjadi referensi atau rujukan tentang keagamaan. Bagaimana bacaan Alqurannya, fasihkah. Bagaimana pemahamannya tentang fiqih ibadah dan syariat keseharian, dll.
Itulah di antara kriteria calon pasangan yang baik. Semua informasi ini bisa didapatkan dari orangtua, kerabat atau teman dekatnya melalui proses ta´aruf yang disyariatkan Islam. Bukan semata dengan mendengarkan bualan sang calon itu sendiri.(*)