Oleh: Wulan Citra Dewi, S.Pd.
(Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Riau)
Teruntuk sang Eyang yang belum mengenal Syariat Islam.
.
Aku pernah berada dalam ketidaktahuan. Menjalani hidup sekenanya, tanpa tau pasti arah dan tujuan. Bagiku, hidup adalah tentang kesenangan. Kebahagiaan yang harus diperjuangkan. Bahagia semacam apa? Emmmm, yang pastinya bukan berstandar Tuhan.
.
Di usia beliaku kala itu, hidup dengan kebebasan adalah impian. Bukan lagi sekedar konde, rambut pirangpun jadi trand mode. Tidak hanya sekedar tari, jingkrak-jingkrak ala anak band juga pernah ku jabani. Ups, bahkan bukan pula sekedar kebaya, pakaian serba minipun jadi pembungkus wujud sehari-hari.
.
Aku hanya ingin sampaikan, demikianlah standar senang dan bahagia ala manusia. Tidak pernah abadi. Seiring bergulirnya waktu, segala kesenangan akan menjadi kenangan usang. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Segala yang berasal dari kefanaan, akan menjumpai kebinasaan. Ya, persis seperti sari konde yang terganti oleh rambut pirang. Tarian tersingkir oleh jingkrakan. Kebaya tergilas oleh pakaian serba terbuka.
.
Lain cerita dengan segala standar yang bersumber dari Sang Pencipta. Ianya kekal nan abadi dalam penjagaan-Nya. Syariat yang mengatur agar hidup jadi teratur. Tutorialnya langsung dari sang suri tauladan, Rasulullah Saw. Melalui diam, tutur dan lakunya kita menjadi mudah menjalankan syariah. Bukan sekedar eksistensi duniawi, destinasi yang kita angani adalah surgawi.
.
Waktu kian berlalu, dan kini Aku tidak lagi seperti yang dulu. Ku temui arti hidup dan kebahagiaan, justru setelah aku mengenal syariat Islam. Ku dapatkan kedamaian dalam setiap lantunan adzan. Kau tahu? Rindu ini berarak bergemuruh setiap kali lafadz demi lafadz dikumandangkan. Ya, rindu untuk bersandar pada kekuatan-Nya. Rindu untuk bersujud mengiba ampunan-Nya. Rindu untuk merayu merdu, memohon rida-Nya. Itulah bahagia. Berpeluk mesra dalam restu dan rida-Nya. Maka kau harus tahu, bahwa ini tidak sebanding dengan sekedar konde, tari atau kidung-kidung yang kau sanjung!
.
Akan terucap pembelaan, “aku budayawan, berhak mengekspresikan pikiran!”.
Ya, mungkin akan terlontar kilahan demikian. Tidak heran, karena teorinya memang menjadi yang wajib diajarkan.
“Sekulerisme dalam karya” demikianlah sub bab dalam pembelajaran sastra yang pernah ku terima.
“Agar karya tidak terkungkung dan terpenjara oleh batasan agama” demikianlah tujuannya.
“Bersastra harus bebas. Berkarya tidak boleh ada batas. Seni haruslah liar mengembara tanpa aturan, sekalipun itu bersumber dari Tuhan!” Begitulah jargon yang dihembuskan.
.
Benarkah seorang sastrawan bebas mengangkangi firman Tuhan? Sekali-kali tidak! Ketahuilah, bahwa kelak di hadapan Tuhan tidak akan ada beda antara agamawan, karyawan, bangsawan atau budayawan. Semua sama, akan dihisab perkara TAKWA. Engkau seniman, ketahuilah bahwa segala karyamu akan dimintai pertanggungjawaban!
.
Sebagaimana aku dulu yang tak tau-menau tentang aturan Tuhan, mungkin demikian pula dengan kau saat ini. Dan memang dengan jujur kau lisankan, syariat Islam tidak pernah kau kenali. Tapi tidak ada kata terlambat, cobalah belajar agar ego tak semakin menjalar. Kau tahu? Tidak ada manusia yang mulia dengan pongahnya pada Sang Pencipta. Korun bahkan Firaun sekalipun, binasa bersama durhakanya dalam kondisi hina. Ingat, usia yang sudah menua. Lekaslah bertobat, minta ampunan-Nya. Semoga ampunan akan datang, sebelum ajal lebih dulu meminang. Semoga!
Pekanbaru, 03 April 2018